Kadipaten Sumenep

Kadipaten di Pulau Jawa

Kadipaten Sumenep (sering dikenal sebagai Kadipaten Madura Timur atau Madura Wetan), adalah sebuah monarki yang pernah menguasai bagian timur Pulau Madura (Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep sekarang) termasuk kepulauan-kepulauan di lepas pantai Selat Madura dan Laut Bali. Pusat pemerintahannya berada di Kota Sumenep sekarang.

Kadipaten Sumenep

1269–1883
Bendera Purwareja
Bendera
Ibu kotaKota Sumenep
Bahasa yang umum digunakanMadura
Agama
Islam
PemerintahanMonarki Keadipatian
Adipati 
Sejarah 
• Raja Kertanegara mendinohaken Arya Wiraraja
1269
• Penandatanganan perjanjian antara Pakubuwana I dengan Kompeni VOC
1705
1883
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Singasari
Hindia Belanda
* Sumenep menjadi daerah keadipatian (kadipaten) semenjak Kerajaan Singhasari berkuasa atas tanah Jawa dan Madura. Pada Masa Kerajaan Majapahit daerah ini dibebaskan dari segala pajak dan upeti kerajaan, Kadipaten Sumenep yang semula berada di bawah pengaruh Kesultanan Mataram jatuh ke tangan Belanda akibat Perjanjian Semarang yang dilakukan Susuhunan Pakubuwana I dengan VOC.
* Pada pemerintahan Raffles, penguasa Kadipaten Sumenep mempunyai kedudukan yang setara dengan Susuhunan di Kasunanan Surakarta dan Sultan di Kesultanan Yogyakarta.
* Pada tahun 1950 Sumenep resmi menjadi wilayah Republik Indonesia yang masuk ke dalam wilayah Karesidenan Madura.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Didirikan pada tahun 1269 oleh seorang kerabat dari Prabu Kertanegara dari [[Kerajaan Singhasari bernama Arya Wiraraja, wilayah ini berada di bawah pengawasan langsung Kerajaan Singhasari kemudian dan selanjutnya, Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1559, pada masa pemerintahan Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan, wilayah yang terletak di Madura Timur ini berada pada pengaruh Kesultanan Demak dan baru pada pemerintahan Pangeran Lor II yang berkuasa wilayah Kadipaten Sumenep berada di bawah pengawasan langsung Kesultanan Mataram. Sebelumnya ialah dari kesultanan Pajang yang bersaudara dari Kesultanan Demak yang berasal dari Keturunan Ronggolawe sampai Brawijaya Vll yaitu Raden Hadiwijaya atau Joko Tingkir kata lain Mas Karebet sekitaran Surakarta ketimur.

Awal Mula Kedatangan Belanda ke Indonesia

Belanda datang pertama kali ke Indonesia adalah ke Banten pada tahun 1596. Kedatangan mereka ke sana dipimpin oleh Cornelis de Houtman yang datang ke Banten untuk mencari rempah-rempah.

Kedatangan Cornelis de Houtman ini bukan untuk menjajah, tapi untuk mencari rempah-rempah. Dan kedatangannya pun tidak mewakili negara Belanda, tapi mewakili dirinya sendiri.

Jadi hadirnya Cornelis de Houtman tak lantas menandakan Indonesia dijajah saat itu juga. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Nusantara masih aman dan damai saja walau Belanda datang. Ya karena kedatangan Cornelis de Houtman hanya untuk berdagang, bukan menjajah.

Lalu untuk meredam konflik antar sesama pedagang Belanda, dibentuklah kongsi dagang Belanda bernama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada 20 Maret 1602.

Selama 200 tahun di Indonesia, VOC menguasai tiga daerah, yakni Menaklukan Banten pada 1633, mengalahkan Sultan Hassanudin, dan menguasai Makassar pada 1677, serta menguasai Kartasura dan Yogyakarta.

Tetapi, walaupun berhasil menguasai, hal itu juga tidak bisa disebut menjajah Indonesia, sebab saat itu mereka hanya menguasai tiga daerah itu saja, tidak sampai semua daerah Sabang sampai Merauke.

VOC pun hanya menguasai pemerintahannya saja, terutama dalam ekonomi dan perdagangannya. Kalau rajanya masih tetap orang pribumi.

Kenapa demikian? Karena hadirnya VOC hanyalah pihak pembantu konflik internal antara kerajaan di sana. Misalnya seperti konflik Banten. VOC  bisa datang dan menguasai Banten sebenarnya karena diajak bekerjasama oleh Sultan Haji yang ingin mengkudeta Ayahnya sendiri yang merupakan Raja Banten, yakni Sultan Ageng Tirtayasa.

Kudeta itu berhasil dilakukan. Sultan Haji mendapatkan kekuasaannya, dan VOC yang menjadi rekan dalam kudeta tersebut mau tidak mau harus diberikan imbalan sesuai dengan perjanjian di antara mereka, yakni hak monopoli dagang

Fenomena seperti ini juga terjadi di Makassar dan Yogyakarta.

Namun, VOC bubar pada 31 Desember 1799 musabab bangkrut dan kerugian akibat korupsi para pegawainya. VOC yang bubar, kemudian diganti sistemnya oleh Belanda menjadi daerah otonomi.

Setelah VOC diganti sistemnya, Belanda kemudian berencana mendatangkan pemerintahannya ke Indonesia, tetapi mereka tak bisa melaksanakan niatnya tersebut karena saat itu Belanda sedang dijajah Perancis, sehingga mereka tak bisa ke Indonesia.

Nah, karena Belanda dijajah Perancis, maka yang datang kemudian ke Nusantara adalah Perancis. Saat itu yang diperintahkan datang adalah Herman Willem Daendels. Lalu pada 1811 yang datang kemudian adalah Inggris dengan diwakili oleh Thomas Stamford Raffles.

Namun kekuasaan dua orang itu hanya di pulau Jawa saja (itupun tidak semua daerah pulau Jawa), dan daerah-daerah  luar Jawa yang sebelumnya dikuasai Belanda.

Barulah pada 1816 wilayah Indonesia dikembalikan lagi ke Belanda. Dengan kembalinya wilayah tersebut, Belanda mulai berkeinginan menguasai seluruh wilayah Indonesia, tidak hanya wilayah Jawa dan beberapa daerah luar yang sebelumnya telah dikuasai.

Maka, dimulailah invasi Belanda ke berbagai wilayah Indonesia hingga akhirnya setelah mereka mengalahkan Kerajaan Bali pada 1904 dan Kesultanan Aceh pada 1912, barulah mereka dinyatakan secara resmi menguasai seluruh Nusantara karena sudah berhasil mengalahkan seluruh kerajaan di Nusantara.

Jadi, Belanda baru bisa dinyatakan menjajah Indonesia adalah pada tahun 1912. Kalau dihitung-hitung dari 1912 sampai 1945, maka Belanda hanya menjajah Indonesia selama 33 tahun.

Lalu kenapa disebut 350 Tahun?

Istilah Indonesia dijajah 350 tahun berasal dari perkataan Ir Soekarno dalam setiap orasinya. Hal ini beliau lakukan untuk menggelorakan semangat para rakyat Indonesia agar terus semangat berjuang dalam melawan penjajahan Belanda disaat itu. Pada tahun 1705, akibat perjanjian Mataram dengan VOC, wilayah ini berada dalam kekuasaan penuh Pemerintahan Kolonial. Selama Sumenep jatuh ke dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini tidak pernah diperintah secara langsung, para penguasa Sumenep diberi kebebasan dalam memerintah wilayahnya namun tetap dalam ikatan-ikatan kontrak yang telah ditetapkan oleh Kolonial Kala itu.

Selanjutnya pada tahun 1883, Pemerintah Hindia Belanda mulai menghapus sistem sebelumnya (keswaprajaan), kerajaan-kerajaan di Madura (Bangkalan dan Sumenep) dikelola langsung oleh Nederland Indische Regening dengan diangkatnya seorang Bupati. Semenjak itulah, sistem pemerintahan Kadipaten di Sumenep berakhir dan berubah menjadi pemerintahan Kabupaten.

Peninggalan Kadipaten Sumenep yang terkenal dan masih dapat disaksikan sampai saat ini antara lain Keraton Sumenep, Masjid Jamik Sumenep dan Asta Tinggi yang berada di pusat Kota Sumenep.

Seperti halnya keraton-keraton di Jawa, budaya halus dan tata krama yang sopan serta bahasa sehari-hari yang santun juga menjadi identitas budaya, baik di seputar lingkungan Keraton Sumenep maupun di lingkungan masyarakat Sumenep pada umumnya. Walaupun Keraton Sumenep saat ini sudah tidak berfungsi lagi sebagai istana resmi Adipati Sumenep ataupun pusat pengembangan budaya Madura, tetapi kebiasaan peninggalan masa kejayaan Kadipaten Sumenep masih sangat terasa, tak heran jika banyak orang menjuluki Sumenep sebagai Solo of Madura.

Mata Pencaharian Penduduk sunting

Semenjak dahulu ekonomi daerah ini bergantung pada hasil laut dan pertanian, karena dari zaman pemerintahan Arya Wiraraja, daerah ini harus mengirimkan upeti kepada kerajaan diatasnya. Namun pada waktu Arya Wiraraja oleh Prabu Kertarajasa Jayawardhana diangkat sebagai penguasa Kerajaan Majapahit bagian timur yang berpusat di Lamajang, kadipaten ini dibebaskan dari segala upeti. Keadaan ini berlangsung sampai Kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Rajasanegara.

Selain mata pencaharian penduduknya yang bergantung dari hasil pertanian yang kurang menguntungkan, mata pencaharian penduduknya sebagian besar juga bergelut dalam bidang kelautan, hal inilah yang kelak menciptakan pelau-pelaut tangguh dari Pulau Madura. Selain itu mata pencaharian penduduknya juga berupa hasil pertanian garam, pertanian garam sendiri berkembang pada masa pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan. Hasil bumi tersebut berpusat di sekitar Selat Madura tepatnya di Desa Pinggirpapas, Kalianget.

Pengaruh Kerajaan Majapahit terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep sunting

 
Labhang Mesem (pintu tersenyum), sebuah bangunan di Kompleks Keraton Sumenep. Arsitekturnya dipengaruhi oleh Arsitektur Yunani.

Wilayah Sumenep mulai di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit semenjak awal pendirian pembangunnya, dengan rajanya Raden Wijaya yang bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardhana. Selain itu Arya Wiraraja yang semula menjadi Adipati Sumenep di bawah Kerajaan Singhasari diangkat sebagai adipati di wilayah timur Majapahit meliputi Blambangan dan Lamajhang, sesuai janji Prabu Kertarajasa Jayawardhana ketika meminta bantuan kepada Arya Wiraraja dalam membabat tanah Jawa. Sebagai ganti kedudukannya di Sumenep, ditunjuklah adik dari Arya Wiraraja yang bernama Arya Bangah sebagai adipati selanjutnya di wilayah Kadipaten Sumenep dengan gelarnya Arya Wiraraja II. Pada masa pemerintahannya, wilayah Kadipaten Sumenep yang notabene sudah masuk dalam wilayah Kerajaan Majapahit diberi keistimewaan dari dibebaskannya upeti sampai dengan pemerintahan Prabu Rajasanegara berkuasa atas Majapahit. Selanjutnya ketika Kerajaan Majapahit diperitah oleh Prabu Wikramawardhana, wilayah ini kembali diwajibkan menyetor upeti kepada Kerajaan Majapahit. Pada masa pengaruh Majapahit, wilayah Kadipaten Sumenep meliputi seluruh Pulau Madura den pulau-pulau yang ada di sekitarnya, seperti Pulau Sapudi, Kangean dan Masalembo.

Pengaruh Kesultanan Demak terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep sunting

Pengaruh Kesultanan Demak secara resmi di Kadipaten Sumenep berlangsung sejak pemerintahan Pangeran Lor dan Pangeran Wetan sampai masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa. Ketika di bawah pengaruh Kesultanan Demak, wilayah Sumenep diwajibkan membayar upeti kepada Ratu Japan sebagai wilayah yang melindunginya.

Pada masa-masa ini, kekuasaan wilayah Kadipaten Sumenep meliputi daerah Sumenep dan Pamekasan yang lebih dikenal dengan sebutan Madura Timur (Madura Wetan)

Pengaruh Kesultanan Mataram terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep sunting

 
Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo yang hampir meliputi seluruh Jawa dan Madura.

Pemerintahan Kadipaten Sumenep mulai dipengaruhi Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa, tetapi sebelum dikuasainya wilayah Kadipaten Sumenep oleh Mataram, seluruh wilayah Madura bergejolak melawan penyerangan yang dilakukan oleh Mataram ke wilayah Madura. Penyerangan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Lor II beserta Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro I.

Kadipaten Sumenep jatuh ketangan Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1624. Pengaruh Mataram di wilayah Kadipaten Sumenep berlangsung hingga pemerintahan Kanjeng Pangeran Ario Yudonegoro.

Pengaruh Kesultanan Mataram begitu terasa di Kadipaten Sumenep sampai saat pembubarannya. Pengaruh yang paling besar adalah pola pemerintahannya dan tata ruang kotanya yang mirip dengan kota-kota kerajaan di Jawa.

Struktur Pemerintahan sunting

Struktur pemerintahan di Kadipaten Sumenep memakai pola pengorganisasian yang mirip dengan pola pemerintahan di Kesultanan Mataram sebagai ibu kotanya. Pemerintahan Lebet di wilayah ini hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Keraton, Kapengulon, Paseban, dan Rumah Tangga Keraton. Selain itu pemerintahan desa di wilayah Kadipaten Sumenep dibagi dalam beberapa kelompok desa, antara lain: Desa Daleman, Desa Percaton dan Desa Perdikan.

Pengaruh VOC terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep sunting

 
Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I, penguasa Kadipaten Sumenep tahun 1811-1854.

Hubungan VOC dengan pemerintahan di Kadipaten Sumenep sebenarnya sudah berlangsung sebelum perjanjian Pangeran Puger pada tahun 1705. Namun karena pada masa itu situasi di lingkungan Kesultanan Mataram goyah, maka pada tahun 1705, VOC memaksakan suatu kehendak mengenai kekuasaan politik di Madura Timur kepada Susuhunan Pakubuwana I sehingga terjadilah perjanjian antara kedua belah pihak, dan akhirnya wilayah Sumenep dan Pamekasan diberikan kepada VOC.

Selama menduduki Sumenep, status wilayah ini masih berupa Ke-Adipatian. VOC tidak serta merta mengubah sitem pola pemerintahan di wilayah ini, para bangsawan keraton masih diberi kepercayaan untuk memerintah rakyatnya dengan syarat-syarat tertentu yang ditandangani oleh kedua belah pihak. Pemerintahan Kolonial, hanya mengawasi dengan menempatkan seorang wakilnya di Sumenep. Para Adipati juga di beri kesempatan untuk menjaga keamanan wilayahnya, maka oleh karena itu, Kadipaten Sumenep juga diberi kewenangan membentuk tentara keamanan yang berasal dari prajurit-prajurit keraton.

Pengaruh-pengaruh VOC yang lainnya juga berpengaruh terhadap perkembangan arsitektur di Sumenep, Sebagian besar bangunan-bangunan pemerintahan dan rumah bangsawan Sumenep sedikit banyak dipegaruhi unsur kebudayaan Eropa.

Pengaruh Hindia Belanda terhadap pemerintahan Kadipaten Sumenep sunting

Seiring berjalannya waktu, Pemerintah Hindia Belanda mulai mengekang beberapa kebijakan Adipati, sampai pada tahun 1883, Pemerintah Kolonial mulai mengeluarkan peraturan yang menghapuskan pemerintahan pribumi, akibatnya, wilayah Sumenep yang semenjak tahun 1269 merupakan wilayah Kadipaten, harus dihapus sistem pemerintahannya dan memberikan tunjangan kepada para bangsawan agar tidak menimbulkan gejolak. Setelah dihapuskannya Ke-Adipatian di Sumenep, maka pada saat itulah wilayah ini mulai diperintah secara langsung oleh Nederland Indische Regening dengan mengangkat seorang Bupati.

Daftar Penguasa Kadipaten Sumenep sunting

No. Nama Tempat Keraton Tahun Keterangan
1. Aria Wiraraja I (Aria Banyak Wide) Batuputih 1269-1292 Otak pendiri Kerajaan Majapahit
2. Aria Wiraraja II (Ario Bangah) Banasare 1292-1301
3. Aria Danurwendo (Lembu Sarenggono) Aeng Anyar 1301-1311
4. Aria Assrapati 1311-1319
5. Panembahan Joharsari Bluto 1319-1331
6. Panembahan Mandaraga (R. Piturut) Keles 1331-1339
7. Pangeran Ario Wotoprojo Bukabu 1339-1348
8. Pangeran Ario Notoningrat Baragung 1348-1358
9. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat I (R. Agung Rawit) Banasare 1358-1366
10. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat II (Tumenggung Gajah Pramono) Banasare 1366-1386
11. Kanjeng Pangeran Ario Pulang Jiwo (Panembahan Blongi) Bolingi / Poday 1386-1399
12. Kanjeng Pangeran Ario Adipoday (Ario Baribin) Nyamplong / Poday 1399-1415
13. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat III (Pangeran Jokotole) Banasare 1415-1460 Pendiri Benteng Kalimo'ok melawan orang-orang Bali Awang pendiri pintu Gerbang Kerajaan Majapahit
14. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat IV (R. Wigonando) Gapura 1460-1502
15. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat V (R. Siding Purih) Parsanga 1502-1559 Patoh Takundur
16. Kanjeng Tumenggung Ario Kanduruwan Karang Sabu 1559-1562
17. Kanjeng Pangeran Ario Wetan dan Kanjeng Pangeran Ario Lor 1562-1567
18. Kanjeng Pangeran Ario Keduk II (R. Keduk) 1567-1574
19. Kanjeng Pangeran Ario Lor II (R. Rajasa) 1574-1589
20. Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro I (R. Abdullah) Karang Toroy 1589-1626
21. Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa Karang Toroy 1626-1644
22. Kanjeng Tumenggung Ario Jaing Patih dari Sampang Karang Toroy 1644-1648
23. Kanjeng Tumenggung Ario Yudonegoro (R. Bugan) Karang Toroy 1648-1672
24. Kanjeng Tumenggung Ario Pulang Jiwo dan Kanjeng Pangeran Ario Sepuh Karang Toroy 1672-1678
25. Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro II (P. Romo) Karang Toroy 1678-1709
26. Kanjeng Pangeran Ario Purwonegoro (RT. Wiromenggolo) Karang Toroy 1709-1721
27. Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III (R. Ahmat alias Pangeran Ario Jimat) Karang Toroy 1721-1744
28. R. Alza Alias Pangeran Lolos Karang Toroy 1744-1749 Lolos dalam penyergapan K. Lesap
29. K. Lesap Karang Toroy 1749-1750 Pimpinan sementara diserahkan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro
30. Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana & Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) Pajagalan 1750-1762 Pemerintahan diserahkan pada suaminya
31. Panembahan Sumolo Asirudin Pajagalan 1762-1811 Pendiri Masjid Jamik
32. Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro) Pajagalan 1811-1854 Kerajaan Sumenep
33. Panembahan Notokusumo II (Raden Ario Moch. Saleh) Pajagalan 1854-1879
34. Kanjeng Pangeran Ario Pakunataningrat II (Pangeran Mangkuadiningrat) Pajagalan 1879-1901
35. Kanjeng Pangeran Ario Pratamingkusumo Pajagalan 1901-1926
36. Kanjeng Tumenggung Ario Prabuwinoto Pajagalan 1926-1929

Lihat Pula sunting

Pustaka sunting

  • Zulkarnaen, Iskandar. 2003. Sejarah Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan kebudayaan kabupaten Sumenep.
  • Adurrahchman, Drs.1971.Sejarah Madura Selajang Pandang. Sumenep