Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang bertugas :

  1. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
  2. memberitahukan Surat Paksa;
  3. melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
  4. melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.

Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya merupakan Pelaksana Eksekusi dari putusan yang sama kedudukannya dengan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Menteri Keuangan berwenang untuk menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat dan Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah. Pejabat inilah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak. Jurusita Pajak yang diangkat untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak pusat biasanya disebut juga Juru Sita Pajak Negara (JSPN), sedangkan untuk penagihan pajak daerah biasa juga disebut Juru Sita Pajak Daerah.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan No.24/PMK.03/2008 Menteri Keuangan memberikan mandat atau menunjuk Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pejabat untuk penagihan pajak-pajak pusat, sehingga ia berwenang mengangkat, melantik dan mengambil sumpah jabatan Jurusita Pajak Negara atau dengan kata lain Jurusita Pajak Negara (JSPN) diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Syarat dan tatacara pengangkatannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.562/KMK.04/2000. Syaratnya diantaranya: berijazah serendah-rendahnya SMU/setingkat (namun biasanya diangkat dari PNS lulusan D1/D3 Pajak STAN), berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/IIa, berbadan sehat, lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak (di Ditjen Pajak disebut Diklat Teknis Substantif Spesialisasi Jurusita Pajak yang diselenggarakan oleh Balai Diklat Keuangan/Pusdiklat Pajak/BPPK), dan jujur bertanggungjawab dan penuh pengabdian.


Pada paragraf keempat Penjelasan Umum UU No.19 Tahun 2000 disebutkan bahwa di dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud law enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak. Sedangkan di Pasal 1 disebutkan bahwa Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak, sehingga dari sini dapat artikan bahwa Jurusita Pajak adalah penegak hukum di bidang perpajakan atau petugas yang melaksanakan law enforcement di bidang perpajakan. Adapun untuk tindak pidana perpajakan penegakan hukumnya dilakukan oleh Penyidik PNS Ditjen Pajak.

Hal ini diperkuat di dalam Pasal 4 UU 19 Tahun 1997 yaitu sebelum memangku jabatannya Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji diantaranya: " Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan."

Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada Penanggung Pajak. Jurusita Pajak juga dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.

Wewenang Jurusita Pajak sunting

Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.

Penjelasan Lain sunting

Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU 19 Tahun 2000: Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari Surat Paksa, ketentuan ini memberikan kekuatan eksekutorial serta memberikan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akta, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan Banding.


Ketentuan yang mengatur:
1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Peraturan Pemerintah No.135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

3. Peraturan Pemerintah No.137 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyanderaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

5. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No. 294/KMK.03/2003, No.M-02.UM.09.01 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

6. Peraturan Menteri Keuangan No.27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

7. Undang-Undang No.6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

8. Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Keimigrasian

Pranala luar sunting