Jambu mawar alias jambu kraton adalah anggota suku jambu-jambuan atau Myrtaceae yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya di wilayah Malesia. Dinamai demikian karena buah jambu ini memiliki aroma wangi yang keras seperti mawar.

Jambu mawar
Syzygium jambos

Status konservasi
Risiko rendah
IUCN49487025
Taksonomi
DivisiTracheophyta
SubdivisiSpermatophytes
KladAngiospermae
Kladmesangiosperms
Kladeudicots
Kladcore eudicots
KladSuperrosidae
Kladrosids
Kladmalvids
OrdoMyrtales
FamiliMyrtaceae
GenusSyzygium
SpesiesSyzygium jambos
Alston
Tata nama
BasionimEugenia jambos (en)

Nama-nama daerahnya di antaranya jambee iye mawar (Ac.), klampok arum (Jw.), kalampok aeng mawar (Md.), nyambu ermawa (Bl.), kembes mawar, kembes walanda, kumpasa im baranda (Sulut), jambu jene mawara (Mak.), jambu mawaro, kupo mawar, kuputol mawar, gora mawar (aneka bahasa di Maluku).[1]

Buah ini juga disebut chomphu namdokmai (Thai), cham’-puu (Kamboja), tampoy (Filipina), rose apple atau Malabar plum (Ingg.). Nama ilmiahnya adalah Syzygium jambos.[2]

Pemerian botanis sunting

Pohon kecil (perdu) dengan tinggi hingga 10 m dan gemang batangnya hingga 50 cm, sering bercabang rendah dan bertajuk memencar lebar.

Daun tunggal terletak berhadapan, lonjong lanset berujung runcing, 9-26 x 1,5–6 cm, hijau tua berkilap di atas dan menjangat tipis. Tangkai daun 5-6(-13) mm.

Karangan bunga dalam payung menggarpu, pendek, muncul di ujung ranting (terminal) atau di ketiak daun (aksial), 4-10 kuntum. Bunga besar, dengan lebar 5–10 cm, putih kehijau-hijauan, berbilangan 4. Daun kelopak s/d 10 x 7 mm; daun mahkota agak bundar, s/d 15–18 mm; benang sari berjumlah banyak, lekas gugur, panjang s/d 4 cm; tangkai putik s/d 4 cm.

Buah bulat sampai bulat telur, dengan garis tengah antara 2,5–5 cm, bermahkota daun kelopak dan tangkai putik yang tidak rontok; kuning keputihan, kehijauan atau kemerahan sampai merah. Daging buah agak kering, harum berbau mawar, kuning atau merah jambu; berasa manis agak sepat, dan meninggalkan sedikit rasa getir sesudahnya. Biji 1-4 butir, kecoklatan.[2]

Kegunaan sunting

 
Bunga jambu mawar

Buah jambu mawar biasa dimakan segar, meskipun nilainya masih kalah oleh jambu air, jambu semarang atau jambu bol. Jambu mawar jarang terdapat di pasar, dan hanya dikonsumsi sendiri terutama oleh anak-anak. Buah ini juga sering dimasak atau diawetkan dengan berbagai cara.

Buah tersebut dapat disuling untuk memperoleh ‘air mawar’, serupa dengan yang dapat diperoleh dari daun mahkota bunga mawar. Daunnya disuling untuk mendapatkan minyak atsiri, yang berguna bagi industri wewangian.

Kayu terasnya berat dan keras, sehingga baik untuk konstruksi bangunan asalkan tidak berhubungan dengan tanah. Kayu ini kurang tahan terhadap serangan rayap. Kulit kayunya digunakan sebagai bahan penyamak dan pewarna.

Pohon jambu mawar juga kerap ditanam di taman-taman dan pekarangan sebagai pohon hias (ornamental). Selain itu, bunga-bunganya juga merupakan sumber pakan yang baik bagi lebah madu.[2]

Dari bunga yang diawetkan, dibuat obat tradisional pendingin dan penenang. Kulit kayu dan bijinya juga dimanfaatkan untuk mengobati murus (diare), disentri dan demam.[1]

Ekologi dan penyebaran sunting

Jambu mawar dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, termasuk yang mudah menggenang. Pohon ini dapat tumbuh subur dan berbuah mulai dari tepi pantai hingga ketinggian 1.200 m dpl. Ia menyukai iklim basah, namun dapat pula tumbuh baik di wilayah yang lebih kering.[2]

Mengikuti peradaban manusia, tanaman ini disebarluaskan ke pelbagai wilayah tropis di dunia sejak beratus tahun yang lalu. Sebagian di antaranya telah meliar kembali di alamnya yang baru. Di beberapa negara, tanaman yang mudah beradaptasi dan berbiak ini kini mulai dianggap sebagai ancaman, karena cenderung bersifat sedikit invasif.

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ a b Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 1518.
  2. ^ a b c d Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel (eds.). 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA – Gramedia. Jakarta. ISBN 979-511-672-2. Hal. 382-385.

Pranala luar sunting