Islam di Kepulauan Nias

artikel daftar Wikimedia

Islam adalah agama minoritas di Kepulauan Nias. Umumnya penduduk Nias menganut Kekristenan dan agama tradisional Nias yang disebut sebagai Fanömba Adu.[1] Para penganut Islam di Kepulauan Nias kebanyakan tinggal di wilayah pesisir. Islam mayoritas dianut oleh perantau Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat, kemudian suku Aceh, dan sedikit dari suku Nias yang menganut Islam — mereka disebut sebagai Ndrawa dalam bahasa Nias; Ndrawa berarti "orang asing" atau "orang yang beragama Islam", nama tersebut diabadikan menjadi nama salah satu gua di Pulau Nias, yakni Tögi Ndrawa.[2] Penduduk asli Nias yang beragama Islam umumnya dapat ditemukan di Gunungsitoli, Nias (Bozihöna), Nias Selatan (Pulau-Pulau Batu Timur dan Teluk Dalam), dan Nias Utara (Lahewa, Sawo, dan Tuhemberua).[3][4][5]

Sejarah sunting

Islam pertama kali tiba di Kepulauan Nias pada abad ke-17, dibawa oleh Teuku Polem yang berasal dari Kesultanan Aceh. Penyebaran Islam bermula ketika Teuku Polem berlayar ke selatan Sumatra dan tiba di Pulau Nias pada tahun 1642. Ia merupakan putra sulung Teuku Cik, kepala pemerintahan di Aceh bagian barat. Pada mulanya, Teuku Polem tiba di Nias tepat di muara Luaha Laraga Idano dan disambut baik oleh pemimpin masyarakat setempat, Balugu Harimao. Setahun kemudian, Teuku Polem menikah dengan Bowo'ana'a, putri dari Balugu Harimao. Setelah mengucapkan syahadat, Bowo'ana'a menjadi orang Nias pertama yang memeluk Islam. Tak lama setelahnya, kerabatnya Acah Herefa juga masuk Islam. Kemudian keturunannya tinggal di Kampung Miga di Ori Tabaloho Dahana, Gunungsitoli. Keturunan yang lain, Kehomo Harefa tinggal di Kampung Mudik, Gunungsitoli dan sebagian di Sifahandro, Tuhemberua.[6]

Pada tahun 1691, tepat 49 tahun setelah Teuku Polem sampai di Pulau Nias, Injik Puncak Alam, seorang bangsawan Minangkabau sampai ke Pulau Nias beserta rombongannya. Kedatangan Datuk Raja Ahmad pada awalnya hanya sekedar berlindung dari badai di lautan antara Nias dan Sumatra. Namun kemudian, Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal di Pulau Nias atas permintaan dari raja-raja Nias. Setelah Datuk Raja Ahmad tinggal di Nias, dalam waktu yang tidak lama, dia bisa berinteraksi dengan masyarakat terutama dengan Si Tolu Tua yang dianggapnya sebagai saudaranya sendiri.[7]

Siti Zohora, putri Teuku Polem kemudian dinikahkan dengan Datuk Ahmad, seorang bangsawan Minangkabau dari Padang Pariaman, pada tahun 1690. Keturunannya tinggal di Hele Duna yang terus berkembang hingga dikenal sebagai Kampung Mudik. Mereka kemudian berbaur dan menikah dengan penduduk asli Nias. Salah satu anak Datuk Ahmad tinggal di Ilir, Gunungsitoli. Kampung berpenduduk Islam, Ilir dan Mudik berkembang sepanjang sungai Kali Nou, dan meneruskan tradisi kesultanan. Raja Sulaeman (1755–1790) mengadakan pesta adat (owasa) pada tahun 1756. Ketika Belanda masuk ke Nias pada tahun 1840, tiga tahun kemudian Belanda mengangkat Datuk Rajo Bendahara di Mudik dan penerusnya tetap mengadakan owasa hingga Raja Mohammad Aiyub (1896–1920). Sejak itu, jabatan raja Mudik dihapus dan diganti dengan sebutan sawala (kepala kampung).[6]

Demografi sunting

Islam umumnya berkembang diantara orang Nias (tidak hanya meliputi penduduk asli Nias, tetapi juga perantau Minangkabau dan Aceh) yang tinggal di wilayah pesisir, hal ini dikarenakan sulitnya akses untuk menuju ke pedalaman Nias dan masyarakatnya yang terisolasi oleh kondisi alam di Kepulauan Nias.[5] Berikut ini tabel persentase agama berdasarkan kabupaten dan kota di Kepulauan Nias menurut sensus 2020:[8]

# Kabupaten/kota Islam (%)
1 Kabupaten Nias 1,17%
2 Kabupaten Nias Barat 2,26%
3 Kabupaten Nias Selatan 2,40%
4 Kabupaten Nias Utara 5,31%
5 Kota Gunungsitoli 13,30%

Peninggalan sunting

Penyematan marga sunting

Salah satu peninggalan jejak Islam di Kepulauan Nias adalah adanya marga keturunan Aceh di Kampung Mudik dan Ilir, yakni marga Polem dan Duha. Menurut penuturan Makmur Polem, penyematan marga Polem dilakukan sejak tahun 1920-an oleh pendahulu mereka. Alasannya, sebagai bentuk ketergantungan identitas dengan Aceh. Begitupun juga sebagai bagian dari diplomasi budaya Aceh dengan budaya Nias yang menggunakan marga, menjaga keutuhan klan, selain mempertahankan identitas Aceh mereka. Nama Polem sendiri didasari dari catatan sejarah, orang yang membawa Islam pertama ke Nias dari Aceh pada 1641–1643 M, yakni Teuku Polem.[9]

Menurut alasan lain, penyematan marga Polem bukan hanya sekedar menjaga identitas Aceh. Menurut informasi dari beberapa orang keturunan Aceh di Kampung Mudik, Polem juga menjadi pembeda antara marga Aceh yang masih beragama Islam, dengan marga keturunan Aceh yang sudah keluar dari Islam (murtad), yakni mereka yang bermarga Duha. Namun dalam beberapa catatan budaya Nias, Duha sendiri diakui sebagai bagian marga-marga (mado) Nias yang telah mengakar di sana, dibanding marga Polem yang baru dibentuk pada awal abad ke-20. Diantara alasan konversi keyakinan menjadi Kristen (terutama Protestan) yang diawali pada abad ke-19 M, tampak karena kuatnya intervensi politik agama di Nias pada masa itu. Khusus di Nias, tingginya pengiriman zending dari Belanda dan Jerman, serta pembelian lahan tanah dari warga lokal, menjadi penyebab bergesernya keyakinan masyarakat setempat.[9]

Mengenai keturunan Aceh yang telah keluar dari agama Islam, dalam catatan sejarah Belanda (Schroder, 1917, dalam buku Pasukan Belanda di Kampung Para Penjagal, 2013), bahwa di salah satu pusat penjualan budak, tepatnya Lolowa'u (sekarang Gomo) hidup orang keturunan Aceh yang telah menjadi kafir, dan mereka juga terlibat dalam bisnis tersebut. Namun, tak dijelaskan dan disebutkan secara spesifik siapa orang-orang Aceh tersebut. Karena itu, siapa saja orang yang menggunakan marga Polem di Nias, dia sudah pasti keturunan Aceh dan masih beridentitas Islam. Disebutkan komunitas mereka terlalu banyak, sedangkan mayoritas marga Polem hanya menetap di Kampung Ilir dan Mudik. Selain orang Aceh yang menyematkan marga Polem dan Duha, juga ada diaspora orang Bugis dari bagian selatan Sulawesi yang menyematkan marga Marunduri dan Bulu Aro, mereka umumnya beragama Islam.[9]

Penamaan tempat sunting

Penamaan beberapa tempat di Nias dengan bahasa Melayu (Ilir, Mudik, Teluk Dalam, dan tempat-tempat lainnya) erat kaitan dengan peran dan pengaruh Islam dari Aceh dan Minangkabau khususnya di wilayah pesisir, yang turut serta mempengaruhi akulturasi budaya yang terjadi di sana. Mengenai keterkaitan budaya Melayu-Aceh, dapat dilihat dalam buku Warisan Budaya Melayu-Aceh karya Soelaiman (ed), 2003.[9]

Meriam dan makam bergaya Aceh sunting

Di Gunungsitoli, terdapat dua meriam yang dibawa Teuku Simeugang, Datuk Ahmad, dan Acah Harefa, keturunan Teuku Polem dari Aceh yang menyebarkan Islam di Nias pada abad ke-17. Selain itu, terdapat makam bergaya Aceh yang terletak di kompleks makam Sibatua, pada puncak bukit di Ononamolo Talafu. Menurut Septy Aro, makam tersebut adalah makam mualaf yang gugur dalam perang.[10]

Lihat juga sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Megalitik, Fenomena yang Berkembang di Indonesia" (PDF). repositori.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  2. ^ "Situs Goa Togi Ndrawa". reverensi.com. 29 Oktober 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-10. Diakses tanggal 2 September 2020. 
  3. ^ "Bebaskan Negeri dari Buta Al-Quran". sedekahonline.com. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  4. ^ "Wakil Bupati Nias Selatan Beramah Tamah dan Berbagi Kebahagiaan Lebaran Dengan Masyarakat Muslim Nias Selatan". niasselatankab.go.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  5. ^ a b "Ono Niha Ndrawa (Studi Etnografi Masyarakat Muslim Nias, di Desa Bozihöna Kecamatan Idanögawo, Kabupaten Nias)". repositori.usu.ac.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  6. ^ a b "Keanggunan Muslim Nias (1)". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  7. ^ "Pengaruh Datuk Raja Ahmad Dalam Penyebaran Ajaran Agama Islam di Pulau Nias". repository.uinsu.ac.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  8. ^ "Visualisasi Data Kependuduakan - Kementerian Dalam Negeri 2020". www.dukcapil.kemendagri.go.id. Diakses tanggal 8 Juni 2023. 
  9. ^ a b c d "Jejak Aceh di Negeri Tano Niha-Nias (2)". www.acehtrend.com. Diakses tanggal 9 Juni 2023. 
  10. ^ "Makam Tipe Aceh Berada Dalam Kompleks Makam Sibatua dan Megalitik Ononamolo di Kabupaten Nias". kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 9 Juni 2023. 

Pranala luar sunting