Interaksi manusia dengan mikroorganisme

Interaksi manusia dengan mikroorganisme adalah hubungan baik berupa praktik maupun simbolik dalam memanfaatkan mikroorganisme, atau dalam bentuk interaksi negatif berupa penyakit pada manusia, hewan peliharaan, dan tanaman.

Salah satu bentuk pemanfaatan mikroorganisme yang dilukiskan pada dinasti ke-18 di Mesir.

Pemanfaatan mikroorganisme telah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Bahkan sebelum mikroskop ditemukan yaitu saat keberadaan mikroorganisme belum diketahui. Delapan ribu tahun yang lalu, bangsa Babylonia tanpa sadar telah memfermentasikan grain untuk membuat bir. Beribu tahun yang lalu suku kuno Aztek di Meksiko memakan Spirullina. Pada perang dunia ke-1, bangsa Inggris menggunakan Clostridium acetobutylicum untuk membuat aseton yang digunakan dalam bahan peledak. Saat ini seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, mikroorganisme makin banyak dimanfaatkan oleh manusia.[1]

Produk pangan sunting

Produk pangan hasil pemanfaatan mikroorganisme banyak dikenal di berbagai belahan dunia. Di Eropa, Penicillium roqueforti, P. camemberti dan Brevibacterium linens dimanfaatkan untuk menfermentasi susu menjadi keju. Saccharomyces cereviseae dimanfaatkan untuk fermentasi roti. Di Jepang, Aspergillus oryzae atau A. sojae dimanfaatkan untuk fermentasi kedelai menjadi shoyu (soy sauce). Di Thailand, Lactobacillus plantarum, L. farciminis dan ''Lactococcus lactic'' digunakan untuk fermentasi ikan menjadi nam pla (fish sauce).[2]

Di Indonesia, produk pangan yang memanfaatkan mikroorganisme dalam pembuatannya diantaranya adalah tape, tempe dan sawi asin.[3] Bahan baku berupa beras ketan atau singkong difermentasi menggunakan mikroorganisme Saccharomyces cereviceae, ''Amylomyces rouxii'' dan ''Candida pelliculosa'' untuk menghasilkan tape ketan atau tape singkong.[3] Tempe dibuat menggunakan bahan baku kacang kedelai yang difermentasi oleh Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae.[2][4] Sawi menjadi sawi asin difermentasi oleh ''Lactobacillus farciminis'', L. fermentum, L. namurensis, L. plantarum, L. helveticus, L. brevis, L. versmoldensis, L. casei, L. rhamnosus, L. fabifermentans dan L. satsumensis.[5]

Kesehatan sunting

Dalam bidang kesehatan, produk dari mikroorganisme yang paling banyak digunakan adalah antibiotik. Antibiotik merupakan hasil metabolit sekunder mikroorganisme. Contoh jenis antibiotik adalah antibiotik penisilin dari Penicillium notatum. Selain itu ada juga antibiotik sefalosporin yang dihasilkan oleh ''Acremonium chrysogenum''.[6] Walaupun pada saat ini telah ditemukan berbagai jenis antibiotik, penemuan antibiotik jenis baru masih terus dilakukan. Hal tersebut dilakukan karena adanya resistensi terhadap antibiotik.

Industri sunting

Produk mikroorganisme telah banyak dimanfaatkan dalam industri contohnya yaitu pigmen dan Vitamin B12. Pigmen merupakan hasil metabolit sekunder dari mikroorganisme. Pigmen merupakan zat warna yang aman untuk digunakan pada bahan pangan. Sebagai contoh yaitu pigmen merah yang dihasilkan oleh Monascus purpureus dan ''Monascus ruber'' yang ditumbuhkan pada beras untuk menghasilkan angkak (obat tradisional cina).[7] Vitamin B12 dibutuhkan oleh manusia untuk fungsi sistem saraf dan pembentukan darah. Vitamin B12 tidak dapat dihasilkan oleh hewan maupun tumbuhan, namun dapat dihasilkan oleh mikroorganisme. Vitamin B12 dapat dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme diantaranya Streptomyces filementosus, S. ruber, S. niveus, S. lusitanus, S. aureofaciens, S. gougeroti, S. albus, S. eurocidicus, S. nitrosporeus, S. erythreus, S. gougeroti, S. rochei, S. candidus, S. fulvissimus dan S. olivaceus.[8]

Lingkungan sunting

Bioremediasi sunting

Bioremediasi adalah pengembangan dari bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Sebagai contoh, mikroorganisme dapat digunakan untuk membersihkan polutan berupa deterjen. Deterjen merupakan produk industri yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Di pasaran, deterjen yang beredar mengandung bahan aktif Linear Alkilbenzene Sulfonate (LAS). LAS termasuk deterjen golongan sulfonat (SO3-) yang memiliki rantai alkil lurus panjang. LAS dapat terakumulasi di dalam air. Keberadaan senyawa tersebut dalam konsentrasi tinggi dapat merusak ekosistem, yaitu mengganggu pertumbuhan mikrob tanah dan menghambat pertukaran oksigen di dalam air. LAS dapat didegradasi menjadi senyawa yang lebih sederhana yang tidak berbahaya bagi lingkungan perairan dilakukan oleh konsorsium mikroorganisme Alcaligenes, Aquaspirillum dan Oceanospirillum.[9] Bioremediasi menggunakan mikroorganisme juga dapat diterapkan pada tanah yang tercemar limbah minyak bumi yaitu hidrokarbon. Tanah yang tercemar limbah hidrokarbon berbahaya bagi lingkungan karena senyawa hidrokarbon bersifat toksik dan karsinogenik. Mikroorganisme yang umum digunakan dalam adalah bakteri hidrokarbonoklastik yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah. Contoh bakteri pendegradasi yang dapat digunakan yaitu Acinetobacter baumannii, Alcaligenes eutrophus, Methylococcus capsulatus, Pseudomonas diminuta, Xanthomonas albilineans, Bacillus cereus dan Flavobacterium branchiophiia.[10]

Biokontrol sunting

 
Kecoa mati karena terinfeksi M. anisopliae

Biokontrol adalah pemberantasan hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan parasit atau musuh alami. Penggunaan mikroorganisme sebagai biokontrol dapat dicontohkan pada rumput teki (Cyperus rotundus) yang mengganggu tanaman padi gogorancah. Jamur karat Puccinia sp. dapat digunakan sebagai musuh alami rumput teki. Jamur karat tersebut akan menyebabkan klorosis sehingga lama-kelamaan rumput teki akan mati.[11] Kecoa (Blatella germanica) yang mudah di temukan di lingkungan tempat tinggal dan aktivitas manusia dapat menyebabkan gangguan berupa bau tidak sedap dan kerusakan pada kertas. Kecoa juga menjadi vektor bagi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, fungi dan cacing. Kecoa tersebut dapat diatasi menggunakan musuh alaminya yaitu Metarizhium anisopliae. Metharizhium anisopliae akan menginfeksi tubuh kecoa. Akibatnya kecoa akan mati dan mengeras seperti mumi.[12]

Referensi sunting

  1. ^ Black, Jacquelyn G. (2012). Microbiology : principles and explorations (edisi ke-8). USA: Wiley. ISBN ISBN 978-0-470-54109-8 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  2. ^ a b Hutkins, Robert W. (2012). Microbiology and technology of fermented foods (edisi ke-1). USA: Blackwell Publishing. ISBN 978-0-8138-0018-9. 
  3. ^ a b Law, S.V. (2011). "Minireview: Popular fermented food and beverages in Southeast asia". International Food Research Journal. 18: 475-478. 
  4. ^ Nout,, M.J.F.; Kiers, J.L. (2005). "A review: Tempe fermentation, innovation and functionality: update into the third millennium". Journal of Applied Microbiology. 98: 789-805. 
  5. ^ Sulistiani; Abinawanto; Sukara, E.; Salamah, Andi; Dinoto, A.; Mangunwardoyo, W. (2014). "Identification of lactic acid bacteria in sayur asin from Central Java (Indonesia) based on 16S rDNA sequence". International Food Research Journal. 21 (2): 527-. 
  6. ^ Muniz, C.C.; Zelaya, T.E.C.; Esquivel, G.R.; Fernandez, F.J. (2007). "Penicillin and cephalosporin production: A historical perspective". Microbiologia. 49: 88-98. 
  7. ^ Panda, B.P.; Javed, S.; Ali, M. (2010). "Production of angkak through co-culture of Monascus purpureus and Monascus ruber". Brazilian Journal of Microbiology. 41: 757-764. 
  8. ^ Selvakumar, P.; Balamurugan, G.; Viveka, S. (2012). "Microbial production of vitamin B12 and antimicrobial activity of glucose utilizing marine derived Streptomyces species". International Journal of Chemical Technical Research. 4 (3): 976-982. 
  9. ^ Sigoillot, J.C.; Nguyen, M.H. (1992). "Complete oxidation of linear alkylbenzene sulfonate by bacterial communities selected from coastal seawater". Application Environmental Microbiology. 58 (4): 1308—1312. 
  10. ^ Zam, S.I. (2011). "Bioremediasi tanah yang tercemar limbah pengilangan minyak bumi secara in vitro pada konsentrasi pH berbeda". Jurnal Agroteknologi. 1 (2): 1-8. 
  11. ^ Fauzi, M.T.; Murdan (2008). "Peranan jamur karat (Puccinia sp.) dalam menurunkan daya kompetisi gulma teki (Cyperus rotundus) pada tanaman padi gogorancah". Agroteksos. 18: 1-3. 
  12. ^ Zurek, L.; Watson, D.W.; Schal, C. (2002). "Synergism between Metarhizium anisopliae (Deuteromycota: Hyphomycetes) and boric acid against the german cockroach (Dictyoptera: Blattellidae)". Biological Control. 23: 296-302.