Ilyas Karim (lahir 13 Desember 1927).[1] adalah seorang veteran pejuang yang mengaku sebagai salah satu dari dua orang pengibar pertama bendera merah putih pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.[2] Pengakuannya diragukan banyak pihak karena bertentangan dengan informasi yang telah diketahui secara luas bahwa pengibar pertama bendera merah putih adalah Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo.[3]

Ilyas Karim
Lahir13 Desember 1927 (umur 96)
Indonesia Padang, Sumatera Barat
Tempat tinggalJakarta
KebangsaanIndonesia Indonesia
PekerjaanPurnawirawan TNI
Dikenal atasMengaku sebagai pengibar bendera proklamasi kemerdekaan (kontroversi)

Pengakuan sebagai pengibar pertama bendera merah putih sunting

Ilyas Karim pertama kali muncul dalam pemberitaan detikcom pada Agustus 2008. Ia mengaku sebagai pengibar pertama bendera merah putih bersama Latief Hendraningrat. Dalam pengakuannya, ia adalah orang bercelana pendek yang tampak dari belakang dalam foto pengibaran bendera merah putih pada proklamasi kemerdekaan Indonesia. Selama ini orang tersebut dikenal publik sebagai Suhud Sastro Kusumo.

Menurut pengakuan Ilyas, pada waktu itu, ia adalah seorang murid di Asrama Pemuda Islam (API) yang bermarkas di Menteng, Jakarta Pusat. Malam hari sebelum pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, Ilyas beserta 50-an teman dari API diundang ke rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Saat berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief Hendraningrat menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. Ia ditunjuk karena merupakan yang paling muda, saat itu ia berumur 18 tahun.[2]

Kontroversi sunting

Pengakuan Ilyas diragukan dan ditolak mentah-mentah oleh berbagai kalangan yang terdiri dari keluarga pelaku sejarah dan sejarawan.[3][4][5][6] Ia diduga memiliki motif ekonomi terkait pengakuannya tersebut.[7]

Video:https://www.youtube.com/watch?v=jFq_6En37T8

Hadiah apartemen sunting

Pada 17 Agustus 2011, Ilyas Karim mendapatkan hadiah sebuah apartemen di Kalibata City. Penyerahan dilakukan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto dan CEO PT Pradani Sukses Abadi (pengembang Kalibata City) Budi Yanto Lusli. Apartemen tersebut masih dalam proses pembangunan dan diperkirakan baru akan bisa dihuni pada Mei 2012.[8][9]

Karier sunting

Setelah terlibat dalam pengibaran bendera merah putih pada proklamasi kemerdekaan, Ilyas kemudian menjadi tentara. Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh Kasman Singodimedjo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kesatuan tentara ini kemudian berganti nama menjadi Siliwangi. Nama Siliwangi merupakan usul dari Ilyas.

Sebagai tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan kolonel.

Sejak 1996, Ilyas menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia yang memiliki cabang di 14 provinsi, antara lain di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon. Jabatannya akan berakhir pada 2009. Yayasan itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain penyantunan anak yatim, pembangunan tempat ibadah, dan penyantunan orang jompo.[2]

Kehidupan sunting

Ilyas Karim menetap di Jakarta bersama keluarganya sejak 1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak saat itu, Ilyas menjadi yatim.

Dua tahun setelah pensiun sebagai tentara, Ilyas diusir dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

Sejak 1985, Ilyas tinggal di rumah berukuran 50 meter persegi yang berdiri di atas sebidang tanah di pinggir rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. Tanah itu ia peroleh dari PJKA (sekarang PTKA) dalam bentuk pinjaman. PJKA mempersilahkan Ilyas memakai tanah itu sampai kapan pun. Meskipun diberi pinjaman tanah, namun untuk rumahnya, Ilyas harus membangun sendiri. Dibantu oleh kawan-kawan seperjuangannya di Divisi Siliwangi, Ilyas mendirikan sebuah rumah sederhana dua lantai di tanah pinjaman tersebut.[1] Namun, pada tahun 2008, ia mendapatkan surat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa ia harus meninggalkan rumahnya pada tahun 2009 karena di dekat lokasi tersebut akan dibangun rumah susun milik pemerintah.[10][11]

Pada Mei 2012, setelah selesainya apartemen Kalibata City yang dihadiahkan kepadanya, ia akan pindah.[9]

Referensi sunting

Pranala luar sunting