Gebug ende adalah ritual pemanggilan hujan sekaligus permainan rakyat pada masyarakat Desa Seraya, Kabupaten Karangasem. Ritual ini dilakukan dalam bentuk permainan oleh laki-laki dewasa maupun anak-anak saat musim kemarau dan setelah berladang. Permainannya menggunakan alat yang disebut gebug dan ende.[1]

Sejarah sunting

Tradisi Gebug Ende dimulai setelah pertempuran yang terjadi antara Kerajaan Karangasem dan Kerajaan Selaparang. Pasukan Kerajaan Karangasem terdiri dari masyarakat Desa Seraya, Desa Angantelu, dan Desa Bubug. Pasukan ini memenangkan pertempuran akibat turunnya hujan lebat, yang kemudian diyakini sebagai pertolongan dari Hyang Widhi. Mereka kemudian kembali ke desa masing-masing setelah perang berakhir. Desa Seraya saat itu dilanda oleh kekeringan berkepanjangan. Mengingat kemenangan mereka dalam perang, para pasukan ini kemudian melaksanakan upacara memohon hujan kepada Hyang Widhi disertai dengan permainan peperangan. Sejak saat itu, ritual Gebug ende menjadi tradisi masyarakat Desa Seraya.[2]

Perlengkapan sunting

Ritual Gebug ende dilakukan dengan menggunakaan alat pemukul dan alat penangkis. Alat pemukulnya berupa rotan dengan panjang sekitar 1,5 meter hingga 2 meter yang disebut gebug. Sedangkan alat penangkisnya berupa anyaman kulit sapi kering dengan bentuk melingkar yang disebut dengan ende.[1] Para pemain menggunakan pakaian tradisional Bali yang berwarna merah, kuning, hijau dan keemasan.[3]

Pementasan sunting

Ritual Gebug ende dilakukan oleh masyarakat desa Seraya Barat, Kabupaten Karangasem. Ritual ini juga dilakukan oleh masyarakat Desa Seraya Barat yang telah pindah ke Desa Patas, Kabupaten Buleleng. Permainan dilakukan dengan saling menyerang pemain lain dengan pemukul dan bertahan dari serangan menggunakan penangkis.[4] Pementasan Gebug ende dilakukan pada tempat yang luas dan datar. Tempat pementasan dibagi dua dan dibatasi menggunakan tali dan bambu. Sebagian untuk pemain dan sebagian untuk penonton.[3]

Ritual Gebug ende dimulai dengan permohonan agar permainan berlangsung dengan lancar dan dapat memberikan kemakmuran bagi masyarakat. Setelah itu, para pemain dan penonton menerima ucapan selamat datang dan nasihat dari penyelenggara. Permainan dipimpin dan diawasi oleh seorang wasit. Giliran pertama diberikan kepada anak-anak laki-laki, kemudian digantikan oleh laki-laki dewasa. Aturan dalam Gebug Ende adalah pemain hanya dapat memukul bagian dari pinggang hingga ke kepala. Permainan selesai saat salah satu pemain sudah tidak dapat membalas serangan dari lawannya.[5] Pertandingan juga diiringi dengan alat musik ceng-ceng, suling, kempul, tawak-tawak, dan gamelan gong kebyar.[6]

Referensi sunting

  1. ^ a b Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2018). Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Satu (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 57. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-10-17. Diakses tanggal 2020-09-11. 
  2. ^ Sucita 2019, hlm. 55.
  3. ^ a b Sucita 2019, hlm. 56.
  4. ^ Sucita 2019, hlm. 54.
  5. ^ Gunarta 2016, hlm. 38.
  6. ^ Gunarta 2016, hlm. 39.

Daftar Pustaka sunting