Freeport-McMoRan

perusahaan asal Amerika Serikat

Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., atau Freeport NYSE: FCX adalah salah satu produsen emas terbesar di dunia. Perusahaan asal Amerika ini memiliki beberapa anak perusahaan, termasuk PT Freeport Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, dan Atlantic Copper, S.A.

Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.
Perusahaan publik
IndustriPertambangan
Didirikan1912
Kantor
pusat
,
Tokoh
kunci
Sir.Azwana Azwani
(Chairman of the Board)
Richard C. Adkerson
(President) (CEO) (Direktur)
William Kennon McWilliams, Jr
(Founder)
ProdukTembaga
Emas
Molibdenum
PendapatanKenaikan $ 18,982 milyar (2013)
Kenaikan $ 8,987 milyar (2013)
Kenaikan $ 4,336 milyar (2013)
Total asetKenaikan $ 29,386 milyar (2013)
Total ekuitasKenaikan $ 12,504 milyar (2013)
Karyawan
29,700 - June 2011
Situs webFCX.com

Sejarah sunting

 
Kapal 'Freeport Sulphur No.6' memasuki pelabuhan Freeport, pada tahun 1923

Perusahaan ini didirikan sebagai Freeport Sulphur Company pada tahun 1912 di Freeport, Texas, dekat dengan tambang sulfur miliknya, yang merupakan tambang sulfur terbesar di dunia.[1] Freeport pun memprakarsai penambangan sulfur di sepanjang Pesisir Teluk A.S. dengan menggunakan Proses Frasch. Freeport Sulphur mulai berdiversifikasi pada tahun 1931, dengan membeli tambang mangan di Oriente Province, Kuba. Freeport nantinya juga memproduksi nikel selama Perang Dunia II dan potassium pada dekade 1950-an.

1950-an sunting

Pada tahun 1955, Freeport membangun tambang nikel-kobalt di Moa Bay, Kuba, dan sebuah kilang minyak di Port Nickel, Louisiana dengan nilai investasi mencapai US$119 juta. Pada tanggal 11 Maret 1957, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan kontrak pembelian nikel dan kobalt hasil produksi Freeport dari Kuba hingga tanggal 30 Juni 1965, sebagai komoditas strategis. Fidel Castro lalu menasionalisasi tambang dan kilang minyak ini pada tahun 1960.[2]

Pada tahun 1956, Freeport membentuk 'Freeport Oil Company'. Pada tahun 1958, perusahaan ini menjual sebuah tambang minyak di Louisiana seharga US$100 juta.

1960-an sunting

Pada tahun 1961, Freeport memasuki bisnis kaolin. Pada tahun 1964, Freeport juga mendirikan cabangnya di Australia untuk mengejar kemungkinan penambangan disana, termasuk juga di negara-negara di sekitaran Samudera Pasifik. Pada tahun 1960, geolog Freeport juga mengonfirmasi penemuan Belanda atas Tambang Ertsberg, yang menyimpan cadangan tembaga dan emas yang sangat melimpah, yang terletak di pedalaman Pegunungan Jayawijaya. Pada tahun 1966, Freeport mendirikan Freeport Indonesia, Inc. untuk menegosiasikan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia, untuk mengelola tambang tersebut. Dalam studi kelayakan yang mereka lakukan, geolog Freeport memperkirakan bahwa di Ertsberg terdapat 33 juta ton bijih dengan 2,5% kandungan tembaga. Ertsberg pun menjadi tambang dengan cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan oleh manusia, pada saat itu.[3]

Freeport pun mulai mendirikan tambang di Ertsberg pada bulan Mei 1970 dan pada pertengahan tahun 1973, tambang tersebut dinyatakan resmi beroperasi. Petinggi dari Bechtel, yang merupakan kontraktor utama dalam pembangunan tambang tersebut, menyatakan bahwa pembangunan tambang Ertsberg ini merupakan "proyek teknik paling sulit yang pernah mereka ambil". Tantangan ini meliputi pembangunan 101 kilometer (63 mi) jalan akses (yang memerlukan pembangunan dua terowongan untuk menembus dua gunung) dan juga pembangunan jalur trem dengan bentang tunggal terpanjang di dunia. Trem ini sangat penting untuk pengangkutan manusia, barang, maupun hasil tambang, karena terdapat sebuah tebing setinggi 2.000 kaki (610 m) yang memisahkan tambang Ertsberg (di ketinggian 12.000 kaki (3.700 m)) dengan pabrik pengolah (di ketinggian 10.000 kaki (3.000 m)). Untuk mengangkut konsentrat tembaga dari pabrik tersebut ke pelabuhan juga membutuhkan pemasangan jaringan pipa sepanjang 109 kilometer (68 mi), yang merupakan terpanjang di dunia.

Pembangunan tambang ini menelan biaya hampir US$200 juta. Walaupun pembangunan tambang Ertsberg ini merupakan pencapaian yang sangat luar biasa, tetapi kinerja keuangan tambang ini pada awalnya sangat mengecewakan, karena harga tembaga yang terus terdepresiasi dan tingginya biaya operasional, hanya menyisakan sedikit keuntungan untuk Freeport selama dekade 1970-an.[3]

McMoRan Oil & Gas dibentuk pada tahun 1967 oleh tiga orang, yakni William Kennon McWilliams Jr. ("Mc"), James Robert (Jim Bob) Moffett ("Mo"), yabg merupakan geolog perminyakan, dan Byron McLean Rankin, Jr. ("Ran"), "seorang ahli pemasaran dan penjualan".[2]

1970-an sunting

Pada tahun 1971, Freeport mengganti namanya menjadi 'Freeport Minerals Company' untuk merefleksikan bisnisnya sebagai produsen berbagai macam olahan mineral. Freeport lalu membentuk 'Freeport Gold Company' pada tahun 1981 untuk mengolah temuan cadangan emas di Jerrit Canyon, Nevada, sebagai sebuah joint venture dengan FMC Gold Co., anak perusahaan dari FMC Corporation (sekarang merupakan anak usaha dari Yamana Gold).

McMoRan mendapat reputasi sebagai peneliti perminyakan yang agresif dengan program pengeboran yang sangat efisien. McMoRan juga membentuk kemitraan pengeboran dengan beberapa perusahaan, termasuk Freeport. Pada tahun 1981, Freeport Minerals bergabung dengan McMoRan Oil & Gas untuk membentuk Freeport-McMoRan Inc.

Sejak tahun 1973, Freeport juga telah mengoperasikan tambang emas terbesar di dunia, yang terletak di Provinsi Papua, Indonesia.

1980-an sunting

Pada tahun 1982, Freeport Gold Company menjadi produsen emas terbesar di dunia, dengan produksi emas mencapai 196.000 troy ons (6.100 kg) pada tahun pertama operasi penuhnya.

Sampai tahun 1989, Freeport-McMoRan telah memiliki dua tambang kelas dunia yang siap dikembangkan, yakni tambang emas baru di Grasberg, Papua, Indonesia (dekat dengan tambang Ertsberg yang lebih dahulu ditemukan), yang mengandung cadangan emas terbesar di dunia dan merupakan salah satu cadangan tembaga terbesar di dunia; serta tambang sulfur, minyak, dan gas di Main Pass di lepas pantai Louisiana, dengan cadangan cadangan sulfur diperkirakan sebanyak 67 juta ton, cadangan minyak sebanyak 39 juta barel (6.200.000 m3), dan cadangan gas alam sebanyak 7.000.000.000 kaki kubik (0,20 km3). Kedua tambang ini merupakan aset yang sangat berharga, tetapi membutuhkan banyak uang untuk mengembangkannya. Freeport pun harus menjual aset-asetnya senilai US$1.5 milliar untuk mendanai pengembangan kedua tambang ini.[2]

1990-an sunting

Sampai tahun 1991, Freeport-McMoRan Inc. pada dasarnya merupakan perusahaan induk untuk Freeport-McMoRan Copper & Gold (FMCG) dan "Freeport-McMoRan Resource Partners", yang berbisnis di bidang pengolahan sulfur dan pupuk. Pada awalnya, Freeport berfokus untuk mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya untuk mengembangkan temuannya di Grasberg dan Main Pass. Kedua aset ini makin terlihat menjanjikan saat mereka menelitinya lebih dalam. Main Pass menyimpan cadangan sulfur terbesar kedua di dunia dan Grasberg yang menyimpan begitu banyak bijih emas.

Pada tahun 1994, Freeport-McMoRan memisahkan Freeport-McMoRan Copper & Gold, yang akhirnya menjadi perusahaan yang berdiri sendiri, dan sangat fokus untuk mengembangkan operasinya di Indonesia. Pada tahun 1997, Freeport-McMoRan Inc., diakuisisi oleh IMC Global, sebuah produsen pupuk yang cukup besar.

Freeport di Indonesia sunting

 
Kunjungan Presiden Joko Widodo ke tambang Grasberg Freeport

Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang memperoleh izin usaha dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967, setelah kejatuhan Presiden Soekarno oleh Presiden Soeharto. PT Freeport Indonesia merupakan pengelola Tambang Grasberg di Irian Barat, Indonesia, yang merupakan salah satu tambang emas terbesar di dunia. Tambang ini juga mengandung tembaga dan perak untuk pasar dunia. Bagi rezim Soeharto, Freeport adalah faktor penting baik di bidang politik dan ekonomi. Presiden Soeharto menggambarkan Freeport sebagai perusahaan pembayar pajak terbesar, investor terbesar dan terlibat dalam kegiatan sosial terbesar di Indonesia. Dari segi methode pertambangan dan segi investor asing, adalah perusahaan yang paling kontroversial.[4]

Ini berkembang menjadi hubungan yang mendukung bersama antara Freeport dan pemerintah Indonesia, militer dan elite politik nasional. Sebagai imbalannya, Freeport secara politis dan militer dilindungi oleh pemerintah. Dukungan keuangan membuat Freeport berani mangambil risiko melanggar Undang-Undang US-Foreign Corrupt Practices Act. Karena peran ekonomi kunci di Jakarta dan Papua Barat, masalah kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia terkait erat dengan masa depan Freeport.

Kekayaan perusahaan ini berasal dari persetujuan izin penambangan yang ditandatangani pada 1967. Lisensi awal dijual kepada perusahaan AS Freeport McMoRan Copper & Gold Inc., termasuk hak penambangan untuk 30 km². Perusahaan ini memiliki hak penambangan eksklusif selama 30 tahun untuk wilayah tersebut dari saat pembukaan tambang (1981). Penduduk setempat telah mencoba percobaan kekerasan, namun segera dikendalikan. Pada 1989 lisensi pertambangan diperluas 25.000 km².

Pada 2003 perusahaan tersebut dipaksa mengakui telah membayar militer Indonesia untuk mencegah pemilik tanah asal jauh dari tanah mereka. Pada 2005, New York Times melaporkan bahwa perusahaan tersebut telah membayara hampir 20 juta dolar AS selama periode 1998-2004 yang didistribusikan di antara pejabat dan satuan, dengan satu individu menerima sampai 150.000 ASD. Perusahaan menanggapi bahwa "tidak ada alternatif untuk ketergantungan kepada militer dan polisi Indonesia mengenai hal ini".

Freeport-McMoRan memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta. Pada awal 2006 sejumlah masyarakat Papua melakukan protes di Jakarta dan Timika. Mereka menuntut PT Freeport meningkatkan pembagian hasil perusahaan tersebut dari 1% hingga 7%.

Pada Juli 2013, Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat mengadakan pertemuan dengan pemerintah pusat yang pada intinya meminta pemerintah pusat mengindahkan permintaan masyarakat Papua yang menginginkan pemindahan kantor Freeport Indonesia dari Jakarta ke Papua, termasuk dalam proses pengelolaan tambang mentah menjadi bahan siap pakai, sehingga secara langsung dapat membangun infrastruktur di Papua.[5]

Pada tahun 2018, Freeport-McMoRan Inc. dan PT Rio Tinto Indonesia menandatangani perjanjian dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) (Inalum) terkait dengan rencana pengambilalihan saham pada PT Freeport Indonesia sebesar 51%.[6]

Pranala luar sunting

Literatur sunting

Referensi sunting

  1. ^ "Freeport article, Handbook of Texas". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-02. Diakses tanggal 2016-04-05. 
  2. ^ a b c "Freeport-McMoRan history". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2015-10-11. 
  3. ^ a b "OPENING THE ERTSBERG DISTRICT". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2015-10-14. 
  4. ^ "Le Monde diplomatique: Die Papua unter indonesischer Herrschaft (Bahasa Jerman)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-19. Diakses tanggal 2011-10-31. 
  5. ^ "Kantor Freeport Indonesia Wajib Pindah ke Papua | Papua Untuk Semua". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-15. Diakses tanggal 2013-07-11. 
  6. ^ "Sah! 51% Saham Freeport Kini Jadi Milik RI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-26. Diakses tanggal 2018-11-15.