Fitokrom adalah reseptor cahaya, suatu pigmen yang digunakan oleh tumbuhan untuk menyerap/mendeteksi cahaya. Sebagai sensor, ia terangsang oleh cahaya merah dan infra merah.[1] Infra merah bukanlah bagian dari cahaya tampak oleh mata manusia namun memiliki panjang gelombang yang lebih besar daripada merah.

Fitokrom ditemukan pada semua tumbuhan. Molekul yang serupa juga ditemukan pada bakteri. Tumbuhan menggunakan fitokrom untuk mengatur beberapa aspek fisiologi adaptasi terhadap lingkungan, seperti fotoperiodisme, perkecambahan, pemanjangan dan pertumbuhan kecambah (khususnya pada dikotil), morfologi daun, pemanjangan ruas batang, serta sintesis klorofil.

Secara struktur kimia, bagian sensor fitokrom adalah suatu kromofor dari kelompok bilin (jadi disebut fitokromobilin), yang masih sekeluarga dengan klorofil atau hemoglobin (kesemuanya memiliki kerangka heme). Kromofor ini dilindungi atau diikat oleh apoprotein, yang juga berpengaruh terhadap kinerja bagian sensor. Kromofor dan apoprotein inilah yang bersama-sama disebut sebagai fitokrom.

Penemuan sunting

Penelitian rintisan terhadap pengaruh cahaya merah dan merah jauh terhadap pertumbuhan tumbuhan antara 1940-1960 dilakukan oleh Sterling Hendricks dan Harry Borthwick dari Pusat Penelitian Pertanian Beltsville di Maryland, dengan menggunakan spektrograf dari bahan-bahan sisa Perang Dunia Kedua. Dari hasilnya diketahui bahwa cahaya merah memacu perkecambahan dan memicu tanggap untuk pembungaan. Selain itu, cahaya merah jauh berpengaruh sebaliknya terhadap pengaruh cahaya merah. Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa bagian yang peka terhadap rangsang cahaya ini berada di daun.

Baru pada tahun 1959, Warren Butler, ahli biofisika, dan Harold Siegemman, ahli biokimia, berhasil mengidentifikasi pigmen yang bertanggung jawab untuk gejala ini menggunakan teknik spektrofotometri. Butler menamakan pigmen itu sebagai fitokrom (secara harafiah berarti "zat warna tumbuhan").

Diperlukan waktu 23 tahun sebelum Peter Quail dan Clark Lagarias melaporkan pemurnian kimiawi fitokrom dari tumbuhan (1983). Selanjutnya, perhatian diarahkan pada struktur dan aspek genetika molekularnya. Sekuens gen fitokrom pertama kali diumumkan pada tahun 1985 oleh Howard Hershey and Peter Quail. Berturut-turut dilaporkan bahwa terdapat bermacam-macam tipe fitokrom, yang dikendalikan oleh gen-gen yang berbeda. Kapri, misalnya, hingga sekarang diketahui memiliki paling sedikit dua tipe, Arabidopsis thaliana memiliki lima gen fitokrom, sementara padi hanya tiga. Jagung memiliki enam gen. Perbedaan-perbedaan itu semua terletak pada bagian apoprotein, sementara senyawa sensor cahayanya tetap sama: fitokromobilin.

Pada tahun 1996, diketahui adanya gen (disebut Cph1) dari bakteri biru hijau Synechocystis yang agak memiliki kemiripan sekuens dengan gen-gen fitokrom dari tumbuhan. Jon Hughes dari Berlin dan Clark Lagarias dari Universitas California di Davis secara berturut-turut melaporkan bahwa gen ini mengkode "fitokrom", dalam pengertian sebagai kromoprotein yang sensitif terhadap perubahan rangsang cahaya merah/merah jauh. Dari penelitian terhadap Cph1 selanjutnya orang mengetahui bagaimana mekanisme kerja fitokrom. Penggunaan Cph1 lebih ekonomis karena bakteri biru hijau relatif mudah dikerjakan di laboratorium daripada tumbuhan, dan juga lebih produktif. Dalam perkembangan selanjutnya, gen-gen fitokrom ditemukan pula pada prokariot Deinococcus radiodurans dan Agrobacterium tumefaciens. Peran biologi fitokrom pada Synechocystis dan Agrobacterium belum diketahui, sementara bagi Deinococcus fitokrom mengatur produksi pigmen pelindung dari cahaya.

Pada tahun 2005, tim dari laboratorium Vierstra berhasil membuat model tiga dimensi fitokrom dari bakteri Deinococcus. Bentuk protein fitokrom sangat tidak lazim karena memiliki simpul ("knot").

Referensi sunting

  1. ^ Dalam konteks fitokrom, infra merah sering kali disebut "merah jauh" atau far-red.

Lihat pula sunting