Ekonomi Thailand bergantung pada kegiatan ekspor dengan nilai ekspor sekitar 60% dari total Produk Domestik Bruto Thailand. Pada bulan Januari 1983, Duta Besar Jepang untuk negara Thailand, Motoo Ogiso menyatakan bahwa Jepang menganggap Thailand sebagai sebuah negara strategis barisan depan dalam menentang ancaman komunisme di Asia Tenggara. Atas sebab itulah Jepang memberi bantuan lebih besar kepada Thailand dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah Indochina.[1] Ekonomi Thailand mengalami pemulihan dari Krisis Finansial Asia pada 1997-1998 setelah adanya kerja sama ekonomi dengan Amerika Serikat dan pasar asing lainnya.

Pemerintahan Thaksin Shinawatra yang mulai menjabat pada Februari 2001 dengan maksud menstimulasi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Thailand kepada perdagangan dan investasi asing langsung. Sejak itu, manajemen pemerintahan Thaksin telah memperbaiki pasar ekonominya dengan mengambil ekonomi jalur ganda yang menggabungkan stimulan domestik dengan promosi tradisional Thailand tentang pasar terbuka dan investasi asing. Ekspor yang lemah menahan pertumbuhan produk domestik bruto pada 2001 hingga 1,9%. Namun pada tahun 2002 hingga 2003 stimulan domestik dan kembalinya ekspor menambah performa yang semakin baik, dengan pertumbuhan produk domestik bruto pada nilai 5,3% dan 6,3%.

Sebelum krisis finasial, ekonomi Thailand memiliki pertumbuhan ekonomi produksi yang bagus—dengan rata-rata 9,4% untuk 1 dasawarsa sampai 1996. Tenaga kerja dan sumber daya yang lumayan banyak, konsevatis fiskal, kebijakan investasi asing terbuka, dan pendorongan sektor swasta merupakan dasar dari suksesi ekonomi Thailand pada tahun-tahun sampai pada 1997. Ekonomi Thailand dilaksanakan dengan inti sebagai sebuah sistem perusahaan bebas. Beberapa jasa, seperti pembangkit listrik, transportasi, dan komunikasi, dimiliki dan dioperasikan oleh negara, tetapi pemerintah sedang mempertimbangkan menswastakan ekonomi Thailand pada awal krisis finansial.

Pemerintah Kerajaan Thailand menyambut investasi asing, dan investor yang bisa memenuhi beberapa persyaratan dapat mendaftar hak investasi istimewa melalui Dewan Investasi Thailand. Untuk menarik investasi asing lainnya, pemerintah telah memodifikasi peraturan investasinya. Gerakan serikat buruh tetap lemah dan terpecah-pecah di Thailand. Hanya 3% dari seluruh angkatan kerja tergabung dalam serikat buruh. Pada tahun 2000, Undang-undang Hubungan Kerja-Perusahaan Negara (SELRA) disahkan, hingga memberikan para pegawai sektor publik hak-hak yang sama dengan mereka yang bekerja di sektor swasta, termasuk hak untuk bergabung dengan serikat buruh.

Sekitar 60% dari seluruh angkatan kerja Thailand dipekerjakan di bidang pertanian. Beras adalah hasil bumi yang paling penting. Thailand adalah eksportir besar di pasar beras dunia. Komoditas pertanian lainnya yang dihasilkan dengan jumlah yang cukup besar adalah ikan dan produk-produk perikanan lainnya, tapioka, karet, biji-bijian, dan gula. Ekspor makanan jadi seperti tuna kaleng, nenas dan udang beku juga sedang meningkat.

Kerja sama sunting

Subwilayah Mekong Raya sunting

Thailand membentuk Subwilayah Mekong Raya bersama dengan empat negara dalam kawasan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan dua provinsi dalam wilayah Tiongkok. Kerja sama ini memanfaatkan Sungai Mekong sebagai sumber ekonomi bagi keenam negara ini. Negara ASEAN yang bekerja sama ialah Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Sedangkan Tiongkok hanya bekerja sama pada wilayah provinsi Yunnan dan provinsi Guangxi Zhuan. Pelopor kerja sama ekonomi subwilayah ini adalah Bank Pembangunan Asia. Perjanjian kerja sama ditandatangani pada tahun 1992.[2]

Kawasan Perdagangan Bebas Perbara sunting

Thailand turut bergabung dalam Kawasan Perdagangan Bebas Perbara sejak tahun 1993. Dalam kawasan ini perdagangan dilakukan dengan aliran bebas barang di ASEAN. Dalam kerja sama ini, Thailand menerima salah satu dari dua jenis kerja sama. Dalam Kawasan Perdagangan Bebas Perbara, negara anggota ASEAN terbagi dua, yaitu ASEAN 6 dan CLMV. ASEAN 6 terdiri dari Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sedangkan CLMV merupakan gabungan dari Laos, Kamboja, Myanmar dan Vietnam. Dalam ASEAN 6, tarif jalur masuk dikurangi hingga 99,65% dari skema Tarif Preferensi Efektif Umum. Sedangkan dalam CLMV, tarif dikurangi sebesar 98,96% tarif menjadi antara 0-5%. Tarif lama hanya diizinkan pada beberapa produk yang tergolong dalam Daftar Sensitif, Daftar Sensitif Tinggi dan Daftar Ekspresi Umum.[3]

Kawasan Perdagangan Bebas Perbara-India sunting

Thailand juga bergabung dalam perjanjian yang menetapkan Kawasan Perdagangan Bebas Perbara-India. Kerangka perjanjian kerja sama ekonomi ini ditetapkan pada tanggal 8 Oktober 2003. Dalam perjanjian ini, Thailand termasuk bagian dari ASEAN bersama dengan Indonesia, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, dan Laos. Sedangkan perjanjian perdagangan dilakukan terhadap negara India. Pada tanggal 13 Agustus 2009, ditetapkan protokol untuk mengubah perjanjian kerangka kerjasama yang ditandatangani di Bangkok, Thailand.[4]

Statistik lainnya sunting

Investasi (gross fixed): 22.5% produk domestik bruto (perkiraan Jan - Sep 2004)

Pendapatan per rumah tangga atau konsumsi menurut persentase:

  • 10% terendah: 2.8%
  • 10% tertinggi: 32.4% (1998)

Distribusi penghasilan keluarga - indeks Gini: 51.1 (2002)

Produksi pertanian: beras, ubi kayu, karet, jagung, tebu, kelapa, kacang kedelai

Industri: pariwisata, tekstil dan garmen, pemrosesan hasil pertanian, minuman, tembakau, tembakau, manufaktur ringan seperti perhiasan, alat-alat listrik dan komponennya, komputer dan onderdilnya, sirkuit komputer, mebel, barang-barang plastik, produsen tungsten kedua terbesar dunia, dan produsen timah ketiga terbesar dunia

Tingkat pertumbuhan produksi industri: 8.5% (perkiraan 2004)

Listrik:

  • produksi: 118.9 miliar kWh (2003)
  • konsumsi: 106.1 miliar kWh (2003)
  • ekspor: 188 miliar kWh (2002)
  • impor: 600 miliar kWh (2002)

Listrik - produksi menurut bahan yang digunakan:

  • BBM: 91.3%
  • PLTA: 6.4%
  • lainnya: 2.4% (2001)
  • nuklir: 0%

Minyak:

  • produksi: 225,000 barel/hari (perkiraan 2004)
  • konsumsi: 785,000 barel/hari(perkiraan 2001)
  • ekspor: tak ada data
  • impor: tak ada data
  • cadangan: 600 juta barel (1 Januari 2003)

Gas alam:

  • produksi: 18.73 miliar m³ (perkiraan 2001)
  • konsumsi: 23.93 miliar m³ (perkiraan 2001)
  • ekspor: 0 m³ (perkiraan 2001)
  • impor: 5.2 miliar m³ (perkiraan 2001)
  • cadangan: 368.2 miliar m³ (1 Januari 2003)

Neraca perdagangan: $6.736 miliar (perkiraan 2004)

Komoditas ekspor: tekstil dan sepatu/sandal, hasil perikanan, beras, karet, perhiasan, mobil, komputer dan peralatan listrik

Komoditas impor: barang-barang modal, barang-barang antara dan bahan mentah, barang-barang konsumsi, bahan bakar

Cadangan devisa dan emas: $48.3 miliar (2004)

Nilai tukar: dari baht ke dolar AS - 40.5348 (2004), 41.4846 (2003), 42.9601 (2002), 44.4319 (2001), 40.1118 (2000)

Lihat pula sunting

Referensi sunting

  1. ^ Uqbah Iqbal, Sejarah Ringkas Hubungan Ekonomi Thailand-Jepun, Munich: BookRix GmbH & Co. KG., 2015.
  2. ^ Sinaga, L.C. dkk., ed. (2019). 50 Tahun ASEAN: Dinamika dan Tantangan ke Depan (PDF). Jakarta: LIPI Press. hlm. 122–123. ISBN 978-602-496-038-4. 
  3. ^ Tavares, dkk. (2017). ASEAN Selayang Pandang (PDF) (edisi ke-22). Jakarta Pusat: Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN. hlm. 36. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-10. Diakses tanggal 2021-07-10. 
  4. ^ Jati, dkk. (2019). Firdausy, dkk., ed. "Peran Kerja Sama Perdagangan Antara ASEAN dan India dalam Ekonomi-Politik untuk Pembangunan Berkelanjutan" (PDF). Prosiding Seminar Nasional Bagian II: Revolusi Industri 4.0 dan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan. Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI: 46. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-10. Diakses tanggal 2021-07-10. 

Pranala luar sunting