Candra Naya

rumah tradisional di Indonesia

Candra Naya adalah sebuah bangunan cagar budaya di daerah Jakarta, Indonesia, yang merupakan bekas kediaman keluarga Khouw van Tamboen, terutama Majoor der Chinezen Khouw Kim An (許金安), kepala bangsa Tionghoa di Batavia yang terakhir (1910-1918 dan diangkat kembali 1927-1942),[1] setelah Mayor Tan Eng Goan (陳永元) (1837-1865), Tan Tjoen Tiat (陳濬哲) (1865-1879), Lie Tjoe Hong (李子鳳) (1879-1895) dan Tio Tek Ho (趙德和) (1896-1908). Bangunan seluas 2.250 meter persegi ini memiliki arsitektur Tionghoa yang khas dan merupakan salah satu dari dua kediaman rumah mayor Tionghoa Batavia yang masih berdiri di Jakarta.[2] Kediaman mayor Tionghoa lainnya yang masih ada ialah bangunan "Toko Kompak" di Pasar Baru, bekas kediaman Mayor Tio Tek Ho. Bangunan yang didirikan pada abad ke-19 ini merupakan salah satu dari 3 bangunan berarsitektur serupa yang pernah ada di Jalan Gajah Mada, yaitu Jalan Gajah Mada 168 milik Khouw Tjeng Po (許清波), yang merupakan gedung Tiong Hoa Siang Hwee (中華商會) (Kamar Dagang Tionghoa) dan kini menjadi gedung SMA Negeri 2 Jakarta, Jalan Gajah Mada 188 milik Khouw Tjeng Tjoan (許清泉), yang kini dikenal sebagai gedung Candra Naya itu sendiri, dan Jalan Gajah Mada 204 milik Khouw Tjeng Kee (許清溪), yang pernah digunakan sebagai gedung Kedutaan Besar Republik Rakyat Republik Rakyat Tiongkok.[3][4]

Gedung Candra Naya (2013)

Sejarah sunting

 
Khouw Yauw Kie dan Majoor Khouw Kim An di Candra Naya pada tahun 1864-1865.

Tidak ada catatan pasti yang menandakan tahun pendirian gedung Candra Naya, namun diperkirakan bangunan ini didirikan pada tahun Dingmao 丁卯 (tahun kelinc api), yaitu 1807, oleh Khouw Tian Sek untuk menyambut kelahiran anaknya, Khouw Tjeng Tjoan 許清泉, pada 1808. Atau, versi lain dari sejarah gedung ini adalah bangunan tersebut didirikan oleh Khouw Tjeng Tjoan pada 1867 yang juga merupakan tahun Dingmao 丁卯 (tahun kelinci api).

Khouw Tian Sek adalah seorang tuan tanah yang memiliki tiga putra dan masing-masing diberinya sebuah gedung. Salah satunya adalah Khouw Tjeng Tjoan yang mendapatkan gedung Candra Naya di Jalan Gajah Mada 188. Khouw Tjeng Tjoan, yang memiliki 14 istri dan 24 anak, menggunakan bangunan utama Candra Naya sebagai kantor dan bangunan belakang sebagai tempat tinggal. Bangunan tersebut kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Khouw Kim An 許金安 yang lahir di Batavia pada 5 Juni 1876. Gedung Candra Naya juga disebut sebagai "Rumah Mayor" karena Khouw Kim An diangkat sebagai mayor Tionghoa (majoor der Chineezen) pada 1910, setelah menjabat sebagai letnan Tionghoa (luitenant der Chineezen) pada 1905 dan kapitan Tionghoa (kapitein der Chineezen) pada 1908. Tugas mayor Tionghoa pada masa itu adalah mengurusi kepentingan masyarakat Tionghoa pada zaman Hindia Belanda. Khouw Kim An juga merupakan seorang pengusaha dan pemegang saham Bataviaasche Bank. Khouw Kim An mulai menempati gedung Candra Naya pada 1934, setelah sebelumnya tinggal di Bogor. Ketika Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Khouw Kim An ditangkap dan dimasukkan dalam kamp konsentrasi hingga wafat di Cimahi pada 13 Februari 1945.[5]

Arsitektur sunting

Gedung Candra Naya diapit oleh dua gardu jaga di bagian kanan dan kiri. Dulunya di bagian depan terdapat taman yang cukup luas dan di bagian belakang terdapat kolam teratai. Bangunan Candra Naya terdiri dari beberapa ruang utama sebagai berikut:

  1. Ruang umum untuk menerima tamu dan merupakan kantor Khouw Kim An, terdiri dari bagian teras hingga ruang penerimaan tamu.
  2. Ruang semi-pribadi untuk tamu-tamu akrab. Ruangan ini dipisahkan dari ruang umum dengan adanya sebuah halaman (tianjing 天井) yang ditutup dengan genteng kaca. Setelah halaman tertutup genteng kaca ini terletak suatu ruangan terbuka dengan altar untuk menyembahyangi dewa-dewi. Di kiri-kanan dinding altar terdapat dua buah pintu yang menuju ke sebuah pintu lain yang menerus ke halaman utama. Kedua ruang ini terdapat di bangunan utama (main building)
  3. Ruang pribadi sebagai tempat hunian keluarga terletak di bagian belakang, terdiri dari bangunan dua lantai dengan kamar-kamar tidur terletak berjejer di kedua lantai. Bangunan ini merupakan bangunan belakang (back building)
  4. Ruang pelayan yang berfungsi sebagai dapur, tempat para selir, dan anak-anak. Bangunan ini merupakan sayap kanan kiri bangunan utama (wing buildings).
  5. Halaman. Kamar-kamar di Candra Naya dibuat menghadap halaman utama di tengah bangunan. Selain itu, di bagian kanan dan kiri, di depan bangunan sayap, juga terdapat halaman. Halaman utama di depan bagian belakang bangunan yang bertingkat dua tadi dilengkapi gazebo.[3]

Salah satu struktur yang istimewa dari Candra Naya adalah bentuk atap melengkung bergaya Tionghoa yang kedua ujungnya terbelah dua, disebut "Yanwei" ('Ekor Walet') 燕尾 . Struktur atap yang melengkung ini, yang juga terdapat pada bangunan kelenteng, menandakan status sosial penghuninya. Pada pemisah antara halaman depan dan halaman samping, terdapat jendela penghubung yang disebut jendela bulan atau moon gate.[3]

Beberapa ornamen yang menempel pada gedung ini adalah Ba Gua 八卦 ('Delapan Diagram') yang berupa pengetuk pintu berbentuk segi delapan untuk penolak bala, hiasan berupa jamur lingzhi 靈芝 pada pintu masuk utama yang melambangkan umur panjang, dan ragam hias bergambar buku, papan catur, kecapi, dan gulungan lukisan di bagian atas teras depan yang melambangkan sang pemilik rumah adalah seorang cendekiawan (scholar) disamping seorang hartawan.[3]

Pemanfaatan Bangunan sunting

Sejak 1946 Perhimpunan Sosial Sin Ming Hui 新明會 (Xin Ming Hui, 'Perkumpulan Sinar Baru'), yang bertujuan membantu korban Kerusuhan Tangerang 1946, menyewa gedung di Jalan Gajah Mada 188 tersebut sebagai gedung perkumpulan.[6] Sin Ming Hui ini didirikan pada hari Minggu 29 Januari 1946. Pada 1964, Sin Ming Hui berganti nama menjadi Tjandra Naja atas saran dari Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Lembaga ini disebutkan tidak eksklusif dan kegiatannya terbuka. Lembaga ini memiliki 5.000 anggota yang bertujuan melakukan asimilasi total melalui bermacam-macam usaha seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan kebudayaan.[7] Hingga akhir 1992, gedung Candra Naya tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai poliklinik, kantor yayasan, tempat berlatih olahraga, dan sekolah. Sempat ada wacana pengalihfungsian akhir 1992 yang nyaris kemudian akan dibangun di tempat berdirinya Candra Naya itu kawasan komersial. Para orang tua murid sekolah yang ada dalam dalam kompleks Candra Naya keberatan. Di kompleks itu, berdiri SD-SLTA termasuk sekolah menengah farmasi.[3][7] Di antara 1960-1970-an, Candra Naya sering digunakan sebagai tempat pesta pernikahan.[2] Gedung ini juga menjadi tempat kompetisi pertama yang diadakan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia maupun kompetisi bilyar dan angkat berat pertama di Jakarta. Di gedung inilah, tempat kegiatan seperti olahraga bridge, binaragaα, angkat besi, bulu tangkis, biliar, dan fotografi juga berlangsung. Sejumlah pebulu tangkis terkenal masa itu seperti Ferry Sonnefille, Eddy Yusuf, Tan King Gwan, dan Tan Joe Hok tampil di sini.[7][8]

Pada 1992, Candra Naya dijual kepada Modern Group yang dimiliki oleh Samadikun Hartono.[8] Pada awalnya, oleh pemiliknya, Candra Naya direncanakan untuk direlokasi ke Taman Mini Indonesia Indah,[7] namun Sutiyoso, Gubernur Jakarta pada 2003 tidak menyetujui usulan tersebut;[8] selain itu usulan atas pemindahan ini juga mendapat tentangan keras dari para pecinta bangunan tua yang tidak setuju sebuah bangunan heritage (pusaka) dipindahkan dari habitat aslinya, demi kepentingan bisnis semata. Pada Februari 2012, gedung utama (main building) Candra Naya yang berhasil diselamatkan dipugar dan menjadi bagian dari kompleks hunian dan komersial terpadu, Green Central City (GCC). Kompleks GCC tersebut juga terdiri dari apartemen dan hotel.[9] Di sekeliling superblok itu, berdiri 2 menara apartemen dengan total 844 unit, griya tawang (penthouse), ruang komersial, dan perkantoran. Semua ini mengitari Candra Naya.[7] Bangunan sayap (wings) kiri-kanan, begitu pun gazebo-nya, juga dibangun kembali setelah sebelumnya dibongkar total, sedangkan bangunan belakang (back building) yang berlantai dua dan mempunyai "sayap" di kiri-kanannya (lihat foto) tidak berhasil diselamatkan karena telah dibongkar untuk selamanya.

Di bagian belakang bangunan utama ini juga masih terdapat kolam ikan besar yang menyejukkan suasana berikut sederet kafe untuk bersantai.[7]

Referensi sunting

  1. ^ Candra Naya dari Mayor Cina ke Cagar Budaya[pranala nonaktif permanen]. National Geographic Indonesia. 26 Februari 2013. Christantiowati. Diakses pada 7 Mei 2013.
  2. ^ a b Candra Naya, "Mayor House" di Jakarta. Diarsipkan 2016-11-12 di Wayback Machine. Asosiasi Peranakan Tionghoa di Indonesia (ASPERTINA). Diyah Wara. Diakses pada 8 Juni 2013.
  3. ^ a b c d e Candra Naya antara Kejayaan Masa Lalu dan Kenyataan Sekarang (Hasil Penelitian 1994-1998).[pranala nonaktif permanen] Naniek Widayati. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol 3 No. 2 Desember 2003: 88-101. Petra Christian University Library.
  4. ^ Candra Naya Bangun dari Mati Suri? Kompas. 11 November 2008. Mijarto, P. Diakses pada 5 Juni 2013.
  5. ^ (Inggris)Eminent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. Leo Suryadinata. 2000. Institute of Southeast Asian Studies. Page 59-60
  6. ^ Sejarah Panjang Candra Naya, 29 Mei 2012. Dwitri Waluyo. Gatra News. Diakses pada 7 Mei 2013.
  7. ^ a b c d e f Kusuna, Buyung Wijaya (9 September 2018). "Candra Naya Bukan Sekedar Nama Bangunan". Kompas. Hlm. 10. Jakarta: PT Media Kompas Nusantara.
  8. ^ a b c Governor turns down Candra Naya relocation. Diarsipkan 2014-02-02 di Wayback Machine. Bambang Nurbianto. The Jakarta Post. 8 Juli 2003. Diakses pada 7 Mei 2013.
  9. ^ Pemugaran Candra Naya di Kota Tua.[pranala nonaktif permanen] 31 Januari 2012. Ganet Dirgantoro. Diakses pada 7 Mei 2013.