Bias konfirmasi

kecenderungan orang untuk menyukai informasi yang menegaskan keyakinan atau nilai mereka

Bias konfirmasi atau prasikap cocok adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.[1] Kesalahan pemikiran ini menyebabkan penarikan kesimpulan yang salah dan merintangi pembelajaran yang efektif.[2] Francis Bacon pernah menyinggung secara tidak langsung mengenai kesalahan pemikiran ini dalam esainya, Novum Organum, meskipun pada masa itu istilah bias konfirmasi belum diketahui.[3] Ia menceritakan mengenai seorang pengunjung di sebuah kuil Romawi yang sebelumnya juga pernah diceritakan oleh Cicero.[3] Orang Romawi bercerita mengenai kehebatan dewa-dewa mereka agar pengunjung tersebut terkesan dan kemudian memperlihatkan sebuah gambar beberapa pelaut yang selamat dari kecelakaan kapal karena rajin berdoa.[3] Menyikapi hal tersebut, sang pengunjung bertanya, "Di mana gambar mereka yang sudah berdoa tetapi tetap tenggelam?"[3]

Dari 188 bias kognitif yang diketahui, bias konfirmasi adalah salah satu bias yang memiliki efek negatif yang besar dalam kehidupan sehari-hari

Bias konfirmasi memiliki penerapan yang luas yang melingkupi banyak sekali konteks,[4] seperti pencarian informasi yang bias, interpretasi informasi yang bias, dan ingatan yang bias. Bias konfirmasi memiliki beberapa efek seperti : 1) Polarisasi sikap (ketika ketidaksepakatan berujung pada hal yang ekstrim walaupun pihak-pihak yang belawanan merujuk kepada bukti yang sama); 2) Keras kepala yang parah walau sudah dihadapkan dengan pelbagai bukti yang bertentangan 3) Efek primer irasional (kertergantungan pada informasi yang didapatkan lebih awal); dan 4) ilusi korelasi (ketika orang salah menginterpretasikan hubungan antara dua peristiwa atau situasi).[5]

Penyebab dari bias konfirmasi merupakan topik yang masih diteliti. Sebuah penelitian pada tahun 1960 menemukan bahwa orang menjadi bias untuk mengkonfirmasi apa yang mereka telah percayai.[6] Penelitian selanjutnya kemudian menafsirkan kembali hasil tersebut sebagai kecenderungan untuk menafsirkan suatu ide dari hanya satu sisi, yaitu hanya fokus pada satu kemungkinan dan mengabaikan penjelasan alternatif dari ide tersebut. Secara umum, berdasarkan yang diketahui saat ini, bias konfirmasi bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan kapasitas otak manusia untuk memproses secara lengkap informasi yang tersedia, sehingga menyebabkan kegagalan untuk menafsirkan informasi dengan cara yang netral dan ilmiah.[7]

Keputusan salah yang berasal dari bias konfirmasi dapat ditemukan pada konteks politik, organisasi, keuangan, bahkan dalam sains.[8] Misalnya, seorang detektif polisi dapat mengidentifikasi tersangka di awal penyelidikan, tetapi kemudian hanya mencari bukti yang mengkonfirmasi penetapan awal daripada bukti-bukti lain yang bisa mendiskonfirmasinya. Demikian pula dengan seorang praktisi medis yang mungkin terlalu berfokus diagnosa awal terhadap suatu penyakit sehingga kemudian hanya mencari bukti yang menguatkan diagnosa awal tersebut. Bias konfirmasi dapat membuat seseorang memiliki kepercayaan diri yang berlebih sehingga membuatnya menjadi sangat keras kepala dalam mempertahankan pendapatnya walau dihadapkan bukti yang bertentangan. Di media sosial, bias konfirmasi diperparah dengan penggunaan gelembung filter, atau "pengeditan algoritmik", yang hanya menampilkan informasi yang cenderung disukai oleh seorang pengguna, sehingga mereduksi jumlah informasi berlawanan yang didapatkan oleh seorang pengguna.[9]

Definisi dan konteks sunting

 
Nisan dari Peter Wason, seorang psikologis yang mencetuskan bias konfirmasi.

Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk hanya memilih informasi yang menegaskan atau memperkuat keyakinan atau nilai-nilai mereka, dan sulit untuk dihilangkan apabila mereka sudah meyakini hal tersebut. Bias konfirmasi pertama kali diungkapkan oleh psikolog Inggris Peter Wason.[10] Bias konfirmasi adalah contoh dari bias kognitif.[11] hal ini juga berkaitan dengan kecenderungan untuk secara keliru menganggap hubungan dan makna antara hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan (apophenia).

Bias konfirmasi terjadi ketika seseorang melakukan penarikan kesimpulan yang bersifat induktif, berdasarkan preferensi pribadi. Salah satu contoh bias konfirmasi dalam media adalah Ruang Gema dan Groupthink dalam psikologi.

Dalam sebuah percobaan yang dilakukan oleh Dan Ariely dan rekan-rekannya, memberitahu sekelompok orang bahwa segelas bir telah dicampur dengan cuka balsamik membuat sebagian besar dari mereka tidak menyukai bir tersebut. Sementara itu, ketika tidak diberitahu mengenai cuka mereka lebih menyukai bir tersebut. Dan menyimpulkan bahwa ekspektasi seseorang dapat mempengaruhi persepsinya.

Jenis-jenis bias konfirmasi sunting

 
Bias konfirmasi telah digambarkan sebagai "yes man" untuk diri sendiri yang mengonfirmasi keyakinan dan kepercayaan sendiri seperti karakter Uriah Heep yang dibuat Charles Dickens.

Pencarian informasi yang bias sunting

Michael Shermer, seorang penulis sains berkebangsaan Amerika, menyatakan bahwa banyak orang lebih sering membentuk argumen mereka bukan dari bukti empiris atau penalaran logis, melainkan dari kepercayaan pribadi yang dipengaruhi oleh faktor psikologis dan emosional seperti pengaruh keluarga, tekanan dari lingkungan, pendidikan, dan pengalaman pribadi. Inilah yang membuat orang pintar dapat percaya pada hal-hal aneh.[12]

Pelbagai penelitian telah berulang kali menemukan bahwa orang cenderung menguji hipotesis hanya dari satu sisi. Hal ini membuat orang cenderung hanya mencari bukti yang dapat mendukung hipotesis yang mereka buat.[13] Alih-alih mencoba mencari bukti secara utuh, banyak orang merangkai pertanyaan penelitian sedemikian rupa sehingga jawabannya dapat mendukung teori yang mereka buat.[14] Misalnya, seseorang yang menggunakan pertanyaan ya/tidak untuk menguji apakah suatu angka merupakan angka 3 akan bertanya "Apakah itu angka ganjil?" (uji positif) alih-alih "Apakah itu bilangan genap?" (uji negatif), walau keduanya akan akan menghasilkan informasi yang sama persis.[15] Hal ini membuat mereka cenderung mencari bukti yang dapat membuktikan kebenaran hipotesis mereka, alih-alih bukti yang dapat membuktikan jika mereka salah.[14] Namun, ini tidak berarti bahwa orang secara sengaja melakukan penelitian yang menjamin jawaban positif. Dalam studi di mana subjek dapat memilih uji semu atau uji diagnostik murni, banyak orang lebih menyukai tes diagnostik murni.[16]

Memilih uji positif sendiri bukanlah bias, karena uji positif dapat menghasilkan hasil yang sangat informatif. Namun, jika dikombinasikan dengan efek lain, strategi seperti ini bisa jadi hanya mengkonfirmasi hipotesis atau asumsi yang ada, terlepas dari apakah hipotesis atau asumsi itu benar. Ini merupakan salah satu contoh dari bias konfirmasi. Dalam situasi dunia nyata, hasil penelitian seringkali kompleks dan beragam. Misalnya, berbagai argumen yang bertentangan tentang hasil penelitian bisa sama-sama benar ketika ditelaah dari sisi yang berbeda.[13] Salah satu ilustrasi dari kejadian ini adalah ketika perbedaan frasa suatu pertanyaan dapat secara drastis mengubah jawaban yang dihasilkan. Misalnya, jawaban seseorang akan cenderung lebih bahagia apabila ditanya "Apakah kamu bahagia dengan kehidupan sosialmu?" dibandingkan dengan "Apakah kamu tidak bahagia dengan kehidupan sosialmu?"[17]

Sedikit saja perbedaan pada kata-kata dalam suatu kalimat dapat mengubah cara orang menangkap informasi dari kalimat tersebut sehingga merubah juga kesimpulan yang mereka buat. Contoh dari kejadian seperti ini adalah tanggapan beberapa partisipan dalam sebuah riset terhadap kisah fiksi tentang hak asuh seorang anak.[18] Dikisahkan bahwa orang tua A memiliki kualitas yang biasa-biasa saja dalam mengasuh anak, sedangkan orang tua B sangat dekat dengan sang anak, tapi memiliki pekerjaan yang akan membuatnya sering pergi jauh dari anaknya. Ketika partisipan diberikan pertanyaan "Orang tua mana yang lebih pantas untuk mendapatkan hak asuh anaknya?", mayoritas partisipan menjawab orang tua B. Hasil ini menyiratkan bahwa berdasarkan pertanyaan tersebut, kebanyakan orang hanya akan melihat sikap positifnya. Karena ketika mereka ditanya "Orang tua mana yang seharusnya tidak diberikan hak asuh?", mereka juga menjawab orang tua B karena berdasarkan pertanyaan seperti itu, orang cenderung hanya akan melihat sisi negatifnya saja.[19]

Sifat seseorang juga dapat menjadi penyebab dari proses pencarian informasi yang bias.[20] Setiap individu berbeda-beda dalam hal kemampuan untuk mencegah terjadinya paparan selektif. Paparan selektif merupakan suatu kejadian dimana seseorang hanya mencari informasi yang sejalan dengan kepercayaan pribadi mereka.[21] Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kepercayaan diri yang tinggi lebih mungkin untuk mencari informasi yang kontradiktif terhadap pandangan awal mereka ketika membuat sebuah argumen. Bentuk pencarian seperti ini disebut konsumsi berita yang berlawanan, dimana seseorang mencari berita partisan yang berlawanan untuk membentuk argumen mereka sendiri.[22] Ini berbanding terbalik dengan orang yang memiliki kepercayaan diri rendah. Orang dengan kepercayaan diri rendah hanya akan mencari informasi yang mendukung pandangan mereka. Orang-orang seperti ini akan menghasilkan bukti yang bias terhadap kepercayaan orang tersebut.[23] Semakin tinggi kepercayaan diri seseorang, semakin rendah keinginannya untuk mencari informasi yang mendukung pandangannya.

Interpretasi informasi yang bias sunting

Orang pintar percaya hal-hal aneh karena mereka terampil mempertahankan keyakinan yang mereka miliki, namun bukan untuk alasan yang baik.

Michael Shermer

Bias konfirmasi tidak hanya terbatas pada cara mengumpulkan bukti saja, melainkan juga pada cara menginterpretasikan informasi.

Tim dari Universitas Stanford melakukan eksperimen yang melibatkan partisipan yang memiliki pandangan yang kuat terhadap hukuman mati, dimana setengahnya mendukung hukuman mati sedangkan setengahnya lagi tidak setuju.[24] Setiap partisipan diberikan deskripsi dari dua data, yaitu perbandingan dari negara bagian amerika yang memiliki dan tidak memiliki hukuman mati, dan sebuah perbandingan antara tingkat pembunuhan di sebuah negara bagian sebelum dan sesudah adanya hukuman mati. Setelah dibacakan deskripsi singkat dari dua perbandingan tersebut, mereka ditanya apakah opini mereka telah berubah. Setelah itu, mereka diberikan prosedur detail tentang bagaimana data tersebut didapatkan dan mereka harus menilai apakah prosedur tersebut sudah baik dan meyakinkan. Pada kenyataannya, data tersebut palsu. Setengah dari partisipan diberi tahu bahwa salah satu data tersebut mendukung efek gentar sedangkan data lainnya membantahnya. Setengah partisipan lain diberi informasi yang berbalikan.

 
Hukuman mati merupakan isu kontroversial yang sering kali menjadi topik perdebatan di kalangan masyarakat. Masing-masing pihak yang berlawanan sama-sama memiliki keyakinan yang kuat akan pandangannya terhadap hukuman mati.

Partisipan, baik yang mendukung maupun yang tidak setuju, melaporkan adanya sedikit perubahan dari pandangan mereka setelah membaca studi pertama. Namun setelah mereka membaca kedua studinya, hampir semuanya kembali ke pendapat awal mereka terlepas dari bukti dan data yang disediakan pada studi pertama. Mereka menjelaskan bahwa pendapat awal mereka lebih superior dengan cara yang detail dan spesifik.[25] Ketika diminta untuk menulis pendapatnya tentang studi yang melemahkan pandangan hukuman mati, seseorang yang setuju dengan hukuman mati menulis "Riset tidak dilakukan untuk waktu yang cukup lama," sedangkan orang yang tidak setuju dengan hukuman mati menulis "Tidak ada bukti yang mengkontradiksi hasil riset".[24] Hasil ini menunjukkan bahwa orang lebih sulit menerima dan menempatkan standar yang lebih tinggi untuk bukti yang berlawanan dengan pandangan mereka sendiri. Efek ini, yang disebut "bias diskonfirmasi", sudah didukung oleh beberapa penelitian lain.[26]

Sebuah studi lain tentang bias interpretasi terjadi pada pemilihan presiden AS tahun 2004 yang beberapa partisipan yang mendukung kedua kandidat calon presiden. Mereka diperlihatkan dua pernyataan yang tampak saling berkontradiksi dari kandidat Republikan George W. Bush dan kandidat Demokrat John Kerry, atau dari figur publik yang netral. Mereka juga diberikan pernyataan tetang mengapa kontradiksi tersebut mungkin beralasan. Dari tiga informasi ini, partisipan harus menentukan apakah pernyataan masing-masing capres ini inkonsisten.[27] Hasilnya menunjukkan bahwa partisipan lebih mungkin untuk menyebut pernyataan dari kandidat yang mereka tidak dukung sebagai pernyataan yang inkonsisten.

 
Pemindai MRI memungkinkan ilmuwan untuk meneliti bagaimana otak manusia memproses informasi

Pada eksperimen tersebut, partisipan diminta untuk membuat kesimpulan mereka dalam sebuah pemindai MRI yang akan mengamati aktivitas otak mereka. Ketika partisipan mengevaluasi pernyataan yang dikeluarkan oleh kandidat yang mereka dukung, bagian otak yang terlibat dalam membentuk emosi terlihat aktif. Namun, bagian otak tersebut tidak aktif ketika partisipan diperlihatkan pernyataan dari kandidat yang tidak dia dukung. Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan dari pernyataan ini bukan disebabkan oleh kesalahan penalaran yang pasif, melainkan partisipan secara aktif mengurangi aktivitas kongisi mereka (teori disonansi kognitif) yang diinduksi oleh aktivitas membaca tentang pernyataan kandidat yang mereka dukung.[27]

Bias interpretasi tidak hanya terbatas pada topik yang penting saja. Pada eksperimen lain, partisipan diberikan sebuah cerita tentang pencurian.[28] Mereka diminta untuk memberikan nilai kepada dua buah pernyataan yang saling bertentangan, satu pernyataan tentang mendukung sebuah teori dimana sang tokoh merupakan orang yang bersalah, sedangkan pertanyaan lain menyatakan sebaliknya. Penelitian ini menemukan bahwa ketika partisipan sudah membayangkan kesalahan sang tokoh terlebih dahulu sebelum membaca pernyataanya, mereka memberi pernyataan yang mendukung dengan nilai yang lebih tinggi dibanding nilai pernyataan yang tidak mendukung, terlepas sebaik apapun argumen dari pernyataan tersebut.

Ingatan informasi pada memori yang bias sunting

 
Model pemrosesan memori. Ingatan, yang merupakan fase retrieval dari memori jangka panjang, sering kali mengalami bias konfirmasi.

Orang mungkin hanya akan mengingat informasi yang dapat mendukung ekspektasi mereka, walaupun mereka mendapatkan dan menginterpretasikan informasi tersebut dengan cara yang netral. Efek ini disebut "ingatan selektif", "memori yang bias akses", dan "memori konfirmasi".[29] Teori-teori psikologi berbeda mengenai penyebab dari ingatan selektif. Teori skema menyatakan bahwa informasi yang sesuai dengan eskpektasi seseorang lebih mudah diingat dibanding dengan yang tidak sesuai.[30] Salah satu contohnya adalah ekspektasi seseorang mengenai suatu merek dapat memengaruhi keputusan belanja mereka, sehingga perusahaan dapat memengaruhi ekspektasi calon konsumen untuk memengaruhi mereka membeli suatu produk.[31] Teori lain menyatakan bahwa informasi yang mengejutkan lebih menonjol dalam memori oleh karenanya lebih mudah diingat. Kedua teori ini sama-sama sudah dikonfirmasi oleh pelbagai konteks eksperimen tanpa ada yang dapat disalahkan.

Dalam sebuah studi, partisipan diminta untuk membaca profil seorang wanita yang memiliki karakteristik campuran antara karakteristik introversi dan ekstraversi.[32] Salah satu kelompok diminta untuk menentukan apakah orang tersebut cocok mendapat pekerjaan sebagai pustakawati, sedangkan kelompok yang lain diminta apakah perempuan tersebut lebih cocok mendapatkan pekerjaan sebagai sales perumahan. Terdapat perbedaan yang mencolok diantara dua kelompok itu, kelompok yang pustakawan lebih mengingat karakteristik perempuan itu sebagai introver sedangkan kelompok yang diminta menilai kelayakannya sebagai sales lebih mengingat karakteristik yang ekstrover.[33]

 
Kasus pembunuhan O. J. Simpson merupakan salah satu kasus yang banyak mendapatkan perhatian masyarakat internasional yang sidangnya disiarkan ke seluruh dunia.

Perubahan kondisi emosional juga dapat memengaruhi proses mengingat dalam memori.[34] Partisipan dalam sebuah riset diminta untuk mengingat apa yang mereka rasakan ketika O.J Simpson dibebaskan dari dakwaan pembunuhan.[35] Mereka diminta untuk menjelaskan perasaan mereka mengenai putusan tersebut setelah satu minggu, dua bulan, dan satu tahun setelah persidangan selesai. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa perasaan partisipan mengenai O.J Simpson berubah seiring waktu. Semakin berubah opini partisipan, semakin tidak stabil pula memori partisipan mengenai reaksi awal mereka. Ketika partisipan mengingat reaksi mereka ketika dua bulan dan satu tahun setelahnya, mereka mengingatnya dengan lebih menyesuaikan perasaan yang mereka rasakan sekarang. Studi lain menunjukkan bagaimana memori selektif dapat membuat seseorang mempertahankan keyakinannya terhadap indra keenam.[36]

Penjelasan pemrosesan informasi sunting

Terdapat empat penjelasan mengapa bias konfirmasi terjadi dalam pemrosesan informasi manusia.

Kognitif dan motivasional sunting

 
Memori bahagia lebih mungkin untuk dapat diingat.

Menurut psikologi kontemporer, pemrosesan bukti yang bias terjadi lewat kombinasi antara mekanisme kognitif dan motivasi.[37]

Penjelasan kognitif dari bias konfirmasi adalah manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam memproses informasi yang kompleks sehingga manusia menggunakan jalan pintasnya, yaitu heuristik.[38] Contohnya, seseorang mungkin akan menilai reliabilitas dari sebuah bukti menggunakan heuristik yang tersedia, yaitu seberapa mudah bukti tersebut diproses oleh otak.[39] Misalnya, seorang investor akan menilai sebuah investasi berdasarkan informasi mutakhir yang terdapat dari berita dan mengabaikan bukti yang ada.[40] Selain itu, iklan obat jarang memuat informasi mengenai pesan layanan kesehatan seperti diet, berolahraga, sehingga dapat membuat seseorang menjadi merasa bahwa berolahraga, diet, dan perilaku sehat lainnya tidaklah efektif atau tidak penting dibanding obat tersebut.[41] Contoh lainnya adalah diagnosa terakhir seorang dokter dalam suatu kondisi meningkatkan kemungkinan dokter terbsebut akan mendiagnosa kondisi yang sama pada pemeriksaan selanjutnya.[42]

Kemungkinan lainnya adalah seorang manusia kesulitan untuk memproses banyak informasi sekaligus sehingga manusia kesulitan untuk membandingkan informasi alternatif secara paralel.[43] Contohnya, studi yang dilakukan oleh Dohery, Mynatt, Tweney, dan Schiavo (1979) menemukan bahwa orang cenderung memilih informasi irelevan untuk mengambil suatu keputusan.[44]

Mekanisme motivasi cenderung membuat seseorang memproses informasi berdasarkan keinginannya.[45] Prinsip Pollyanna menjelaskan bahwa orang lebih memilih pikiran positif daripada yang negatif.[46] Prinsip ini dapat menjelaskan kenapa kesimpulan yang sesuai harapan lebih dapat dipercaya sebagai kebenaran. Menurut eksperimen yang memanipulasi harapan dari sebuah kesimpulan, orang menetapkan standar bukti yang tinggi untuk ide-ide yang tidak menyenangkan dan standar yang rendah untuk ide-ide yang disukai.[47]

Psikolog sosial Ziva Kunda menggabungkan teori kognitif dan motivasi. Ziva menyatakan bahwa orang mengandalkan proses kogntif mereka untuk mendapatkan kesimpulan, tetapi motivasi mereka yang akan menentukan mana kesimpulan yang akan digunakan.[48]

Untung-rugi sunting

Penjelasan dalam konteks analisis untung rugi mengasumsikan bahwa orang tidak hanya menguji sebuah hipotesis dengan cara yang salah, tetapi juga menilai berbagai kerugian yang mungkin timbul dari kesalahan. Menggunakan teori dari psikologi evolusi, James Friedrich menyatakan bahwa orang tidak mencari kebenaran dalam menguji sebuah hipotesis, tapi lebih mengurangi atau menghindari kesalahan yang mahal. Contohnya, perusahaan mungkin akan menanyakan pertanyaan yang fokus untuk mengeliminasi kandidat yang tidak mereka sukai. Yaacov Trope dan Akiva Liberman mengadopsi teori ini untuk menyatakan bahwa orang membandingkan dua jenis kesalahan: Menerima hipotesis yang salah atau menolak hipotesis yang benar. Contohnya, seseorang yang merendahkan kejujuran temannya mungkin akan memperlakukannya dengan kecurigaan karena terlalu percaya dengan kesalahan dalam menilai kejujuran temannya mungkin akan sangat mahal. Oleh karena itu, mengambil keputusan dengan cara yang bias seperti ini mungkin rasional. Ketika seseorang memberikan kesan sebagai introver atau ekstrover, pertanyaan yang mungkin diajukan kepadanya cenderung lebih empatik. Misalnya orang akan cenderung bertanya kepada seseorang yang tampaknya introver "Apakah Anda merasa canggung dalam situasi sosial?" daripada, "Apakah Anda suka pesta yang berisik?".[49]

Eskplorasi vs Konfirmasi sunting

Psikolog Jennifer Lerner dan Philip Tetlock membedakan dua jenis proses berpikir yang berbeda. Pemikiran eksplorasi secara netral mempertimbangkan banyak sudut pandang dan mencoba mengantisipasi semua kemungkinan terhadap posisi tertentu, sementara pemikiran konfirmasi berusaha untuk membenarkan sudut pandang tertentu.[50] Lerner dan Tetlock mengatakan bahwa ketika orang berharap untuk membenarkan posisi mereka kepada orang lain yang pandangannya sudah mereka ketahui, mereka akan cenderung mengadopsi posisi yang sama dengan orang tersebut, dan kemudian menggunakan pemikiran konfirmasi untuk meningkatkan kredibilitas mereka sendiri.

Lerner dan Tetlock mengatakan bahwa orang hanya akan mendorong diri mereka sendiri untuk berpikir kritis dan logis ketika mereka tahu sebelumnya bahwa mereka perlu menjelaskan diri mereka sendiri kepada orang lain yang berpengetahuan luas, benar-benar tertarik pada kebenaran, dan yang pandangannya belum mereka ketahui.[51] Karena kondisi tersebut jarang ada, mereka berpendapat, kebanyakan orang menggunakan pemikiran konfirmasi hampir sepanjang waktu.

Kepercayaan sunting

Psikolog perkembangan Eve Whitmore berpendapat bahwa keyakinan dan bias yang terlibat dalam bias konfirmasi berakar pada masa kanak-kanak melalui khayalan, yang menjadi "dasar untuk ilusi yang lebih kompleks hingga dewasa." Gesekan yang ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang timbul semasa remaja dan pemikiran kritis yang sedang berkembang dapat menyebabkan rasionalisasi keyakinan yang salah.[52]

Efek dunia nyata sunting

Media sosial sunting

Pada media sosial, bias konfirmasi lebih terasa dengan adanya filter gelembung, atau disebut juga sebagai "pengeditan algoritma", yang membuat seorang individu hanya mendapat informasi yang cenderung akan disetujui oleh mereka sekaligus mengeksklusi padangan lainnya.[53] Beberapa orang berargumen bahwa bias konfirmasi merupakan alasan mengapa masyarakat tidak akan pernah bisa kabur dari filter gelembung, dengan alasan bahwa individu sudah secara psikologis diprogram untuk mendapatkan informasi yang dapat mengkonfirmasi kepercayaan dan nilai yang mereka yakini sebelumnya.[54] Orang lain lebih lanjut berpendapat bahwa campuran keduanya akan mengurangi kualitas demokrasi karena "pengeditan algoritmik" ini menghilangkan beragam sudut pandang dan informasi.[55] Kecuali algoritma gelembung filter dihapus, pemilih tidak akan dapat membuat keputusan politik yang sepenuhnya terinformasi.

Berkembangnya penggunaan media sosial berkontribusi besar terhadap cepatnya penyebaran berita palsu, yaitu informasi palsu dan menyesatkan yang disajikan sebagai berita yang kredibel dari sumber yang tampaknya dapat dipercaya. Bias konfirmasi adalah salah satu alasan mengapa berita palsu menyebar begitu luas, terutama yang disebabkan oleh pemrosesan informasi heuristik dan motivasi intrinsik.[56]

Dalam memerangi penyebaran berita palsu, situs media sosial telah mempertimbangkan untuk beralih ke "dorongan digital".[57] Hal ini dapat dilakukan dalam dua bentuk dorongan yang berbeda, yaitu dorongan informasi dan dorongan presentasi. Mendorong informasi membuat situs media sosial perlu memberikan label yang mempertanyakan atau memperingatkan pengguna tentang validitas sumber.[58] Mendorong presentasi adalah memaparkan pengguna pada informasi baru yang mungkin tidak mereka cari tetapi dapat memperkenalkan mereka pada sudut pandang yang mungkin bertentangan dengan pandangan mereka sendiri.[59]

Sains dan riset saintifik sunting

 
Penelitian ilmiah sering kali mengalami bias konfirmasi.

Salah satu ciri khas dari penalaran ilmiah adalah mencari bukti yang dapat mendukung atau mengonfirmasi (induktif) atau bukti yang membantah (deduktif) hipotesis. Riset induktif menjadi salah satu jenis riset yang memiliki masalah besar, yaitu bias konfirmasi.[60]

Sepanjang sejarah dalam perkembangan sains, para ilmuwan sering kali mencegah temuan baru muncul dengan secara selektif menginterpretasi atau menolak data yang tidak mereka inginkan.[61] Beberapa penelitian sebelumnya sudah menunjukkan bahwa ilmuwan menilai sebuah penelitian dengan nilai yang lebih baik apabila temuan dari penelitian tersebut konsisten dengan keyakinan mereka sebelumnya.[62]

Namun, mengasumsikan bahwa pertanyaan penelitian yang diajukan sudahlah relevan, dengan desain eksperimen dan data dijelaskan secara komprehensif, data yang didapatkan dari penelitian tersebut tetaplah penting bagi komunitas ilmiah dan tidak seharusnya dipandang sebelah mata, terlepas apakah penelitian tersebut menyetujui hipotesis terbaru maupun tidak.[63] Pada prakteknya, para ilmuwan mungkin saja salah memahami, salah menginterpretasi, atau bahkan tidak membaca semua studi yang mengkontradiksi persepsi mereka, atau tetap mensitasi suatu penelitian yang salah jika penelitian tersebut mendukung klaim mereka.[64]

Lebih lanjut lagi, bias konfirmasi dapat menjadikan sebuah teori atau program saintifik tetap bertahan walau dihadapkan dengan bukti yang tidak cukup atau bahkan berlawanan.[65] Salah satu bidang sains yang paling parah terdampak oleh bias konfirmasi adalah parapsikologi.[66]

Bias konfirmasi dapat memengaruhi data yang akan dihasilkan. Data yang bertentangan dengan ekspektasi seorang ilmuwan mungkin akan lebih mudah dianggap tidak reliabel. Untuk menghilangkan dorongan seperti ini, latihan saintifik biasanya mengajarkan pelbagai cara untuk mengurangi bias.[67] Salah satunya adalah penggunaan uji acak terkendali yang dapat meminimalisir terjadinya bias.[68]

Proses sosial dari penelaahan sejawat bertujuan untuk memitigasi efek dari bias individu,[69] walau proses tersebut juga tidak sepenuhnya bebas dari bias.[70] Oleh karena itu, bias konfirmasi dapat menjadi sesuatu yang merusak evaluasi objektif mengenai suatu hasil yang tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya karena individu yang bias akan melawan bukti tersebut dan menilainya sebagai bukti yang lemah. Kecuali inovasi tersebut berasal dari diri sendiri, banyak ilmuwan di dunia saintifik melakukan penentangan terhadap inovasi baru dan seringkali memberikan penelaahan sejawat yang keras kepada hasil penelitian yang kontroversial.[71]

Referensi sunting

  1. ^ (Inggris) The Political Brain, Scientific American.Diakses pada 1 Agustus 2011.
  2. ^ (Inggris) Klayman, Joshua; Ha, Young-Won (1987), "Confirmation, Disconfirmation and Information in Hypothesis Testing" (PDF), Psychological Review, American Psychological Association, 94 (2), ISSN 0033-295X, diakses tanggal 2011-08-01 
  3. ^ a b c d Gilbert, Daniel (2007). Tersandung Kebahagiaan. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-2943-1.  Halaman 121.
  4. ^ Nickerson, Raymond S. (1998). "Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises". Review of General Psychology (dalam bahasa Inggris). 2 (2): 185. doi:10.1037/1089-2680.2.2.175. ISSN 1089-2680. A great deal of empirical evidence supports the idea ... that it appears in many guises.. 
  5. ^ Strickland, Jeffrey (24 Mei 2015). Quantum Hope (dalam bahasa Inggris). Morissville: Lulu Press. hlm. 89. ISBN 978-1-329-16078-1. 
  6. ^ Farris, Hillary H.; Revlin, Russel (1989). "Sensible reasoning in two tasks: Rule discovery and hypothesis evaluation" (PDF). Memory & Cognition. 17 (2): 223. students and scientists appear to seek confirmation of their hypotheses rather than a critical test of them 
  7. ^ Nast, Condé (20 Februari 2017). "Why Facts Don't Change Our Minds". The New Yorker (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01. 
  8. ^ Bergen, C. W. Von; Bressler, Martin S. (30 September 2020). "Confirmation Bias in Entrepreneurship". Journal of Management Policy and Practice. 19 (3): 74. ISSN 1913-8067. 
  9. ^ Schiffer, Zoe (12 November 2019). "'Filter Bubble' author Eli Pariser on why we need publicly owned social networks". The Verge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-01. 
  10. ^ Plous, Scott (1993), The psychology of judgment and decision making. New York: McGraw Hill, hlm. 233 
  11. ^ Stucky, Gail. "LibGuides: Fake news or real? or how to become media savvy: Confirmation bias". bethelks.libguides.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 1 Desember 2021. 
  12. ^ Kida, Thomas E. (25 September 2009). Don't Believe Everything You Think: The 6 Basic Mistakes We Make in Thinking (dalam bahasa Inggris). Prometheus Books. hlm. 157. ISBN 978-1-61592-005-1. 
  13. ^ a b Kunda, Ziva (1999). Cognition: Making Sense of People. Boston: MIT Press. hlm. 112–115. ISBN 9780262277761. 
  14. ^ a b Baron, Jonathan (28 Desember 2000). Thinking and Deciding (dalam bahasa Inggris). London: Cambridge University Press. hlm. 162–164. ISBN 978-0-521-65972-7. 
  15. ^ Kida, Thomas E. (Thomas Edward) (2006). Don't believe everything you think : the 6 basic mistakes we make in thinking. Internet Archive. Amherst: Prometheus Books. hlm. 162–165. ISBN 978-1-59102-408-8. 
  16. ^ Trope, Yaacov; Bassok, Miriam (1982). "Confirmatory and diagnosing strategies in social information gathering". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 43 (1): Abstrak. doi:10.1037/0022-3514.43.1.22. ISSN 0022-3514. very little evidence for a confirmatory strategy ... was preferred 
  17. ^ Fine, Cordelia (17 Juni 2008). A Mind of Its Own: How Your Brain Distorts and Deceives (dalam bahasa Inggris). New York: W. W. Norton & Company. hlm. 81–82. ISBN 978-0-393-34300-7. 
  18. ^ Brest, Paul; Krieger, Linda Hamilton (26 Mei 2010). Problem Solving, Decision Making, and Professional Judgment: A Guide for Lawyers and Policymakers (dalam bahasa Inggris). London: Oxford University Press. hlm. 391. ISBN 978-0-19-999591-2. 
  19. ^ Fine, Cordelia (17 Juni 2008). A Mind of Its Own: How Your Brain Distorts and Deceives (dalam bahasa Inggris). New York: W. W. Norton & Company. hlm. 83–85. ISBN 978-0-393-34300-7. 
  20. ^ Albarracín, Dolores; Mitchell, Amy L. (2004). "The Role of Defensive Confidence in Preference for Proattitudinal Information: How Believing That One Is Strong Can Sometimes Be a Defensive Weakness". Personality and Social Psychology Bulletin (dalam bahasa Inggris). 30 (12): 1566. doi:10.1177/0146167204271180. ISSN 0146-1672. PMC 4803283 . PMID 15536240. On one hand, people’s confidence in their ability to defend their attitudes from attack may stem from severalpersonality 
  21. ^ Metzger, Miriam J.; Hartsell, Ethan H.; Flanagin, Andrew J. (2015). "Cognitive Dissonance or Credibility? A Comparison of Two Theoretical Explanations for Selective Exposure to Partisan News". Communication Research. 47 (1): 14. doi:10.1177/0093650215613136. ISSN 0093-6502. Individuals were more likely to seek out attitude-consistent information from online sources that they used frequently and if they felt strongly about their beliefs 
  22. ^ Dahlgren, Peter M. (2020-12-17). Media Echo Chambers: Selective Exposure and Confirmation Bias in Media Use, and its Consequences for Political Polarization. hlm. 53. ISBN 978-91-88212-95-5. 
  23. ^ Stanovich, Keith E.; West, Richard F.; Toplak, Maggie E. (Agustus 2013). "Myside Bias, Rational Thinking, and Intelligence". Current Directions in Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 22 (4): 259. doi:10.1177/0963721413480174. ISSN 0963-7214. 
  24. ^ a b Lord, Charles G.; Ross, Lee (1979). "Biased assimilation and attitude polarization: The effects of prior theories on subsequently considered evidence". Journal of Personality and Social Psychology. 37 (11): 2100. doi:10.1037/0022-3514.37.11.2098. ISSN 0022-3514. 
  25. ^ Kruglanski, Arie W.; Stroebe, Wolfgang (2012). Handbook of the History of Social Psychology (dalam bahasa Inggris). Milton Park: Psychology Press. hlm. 292. ISBN 978-1-84872-868-4. 
  26. ^ Luengo, Oscar G. (15 Februari 2016). Political Communication in Times of Crisis (dalam bahasa Inggris). Berlin: Logos Verlag. hlm. 67–68. ISBN 978-3-8325-4177-4. 
  27. ^ a b Westen, Drew; Blagov, Pavel S.; Harenski, Keith; Kilts, Clint; Hamann, Stephan (1-11-2016). "Neural Bases of Motivated Reasoning: An fMRI Study of Emotional Constraints on Partisan Political Judgment in the 2004 U.S. Presidential Election". Journal of Cognitive Neuroscience. 18 (11): 1948. doi:10.1162/jocn.2006.18.11.1947. ISSN 0898-929X. 
  28. ^ Pohl, Rüdiger F. (06-12-2012). Cognitive Illusions: A Handbook on Fallacies and Biases in Thinking, Judgement and Memory (dalam bahasa Inggris). Psychology Press. hlm. 89–90. ISBN 978-1-135-84495-0. 
  29. ^ Hastie, Reid; Park, Bernadette (1986). "The relationship between memory and judgment depends on whether the judgment task is memory-based or on-line". Psychological Review (dalam bahasa Inggris). 93 (3): 260. doi:10.1037/0033-295X.93.3.258. ISSN 1939-1471. 
  30. ^ Pratkanis, Anthony R.; Breckler, Steven J.; Greenwald, Anthony G. (18 Maret 2013). Attitude Structure and Function (dalam bahasa Inggris). East Sussex: Psychology Press. hlm. 84. ISBN 978-1-317-76658-2. 
  31. ^ Niosi, Andrea (2021). Introduction to Consumer Behaviour (dalam bahasa Inggris). Victoria: BCcampus. hlm. 10. ISBN 978-1-77420-116-9. 
  32. ^ Berbagai Penulis (1984). Advances in experimental social psychology. Volume 18. Leonard Berkowitz. Orlando: Academic Press. hlm. 275. ISBN 978-0-08-056732-7. OCLC 299400798. 
  33. ^ Cooper, Nicola; Frain, John (08-08-2016). ABC of Clinical Reasoning (dalam bahasa Inggris). New York: John Wiley & Sons. hlm. 23. ISBN 978-1-119-05908-0. 
  34. ^ Safer, Martin A.; Bonanno, George A.; Field, Nigel P. (Mei 2001). ""It was never that bad": Biased recall of grief and long-term adjustment to the death of a spouse". Memory (dalam bahasa Inggris). 9 (3): 202. doi:10.1080/09658210143000065. ISSN 0965-8211. 
  35. ^ Levine, Linda J.; Prohaska, Vincent; Burgess, Stewart L.; Rice, John A.; Laulhere, Tracy M. (Juli 2001). "Remembering past emotions: The role of current appraisals". Cognition & Emotion. 15 (4): 401. doi:10.1080/02699930125955. ISSN 0269-9931. 
  36. ^ Russell, Dan; Jones, Warren H. (Maret 1980). "When Superstition Fails". Personality and Social Psychology Bulletin. 6 (1): 86–87. doi:10.1177/014616728061012. ISSN 0146-1672. 
  37. ^ Moore, Don A.; Cain, Daylian M.; Loewenstein, George; Bazerman, Max H. (18 April 2005). Conflicts of Interest: Challenges and Solutions in Business, Law, Medicine, and Public Policy (dalam bahasa Inggris). London: Cambridge University Press. hlm. 243. ISBN 978-1-139-44459-0. 
  38. ^ Cherry, Kendra (11 April 2021). "How Heuristics Help You Make Quick Decisions". Verywell Mind (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-18. 
  39. ^ behavioralecon. "Availability heuristic". BehavioralEconomics.com | The BE Hub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-18. 
  40. ^ Tversky, Amos; Kahneman, Daniel (1974). "Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases" (PDF). Science. 185 (4157): 1126. ISSN 0036-8075. 
  41. ^ Ventola, C. Lee (Oktober 2011). "Direct-to-Consumer Pharmaceutical Advertising". Pharmacy and Therapeutics. 36 (10): 673–674. ISSN 1052-1372. PMC 3278148 . PMID 22346300. 
  42. ^ News, HealthDay (17 Agustus 2021). "Doctors More Likely to Test for Conditions Recently Diagnosed in Other Patients". HealthDay (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 18 Desember 2021. 
  43. ^ Devlin, Moira (13 September 2021). How to Beat the Robots: your need-to-know thinking solutions (dalam bahasa Inggris). London: Little Fish Big Impact. hlm. 128. ISBN 978-1-8384620-0-0. 
  44. ^ Manktelow, K. I. (1999). Reasoning and Thinking (dalam bahasa Inggris). East Sussex: Psychology Press. hlm. 114. ISBN 978-0-86377-709-7. 
  45. ^ Bastardi, Anthony; Uhlmann, Eric Luis; Ross, Lee (2011/06). "Wishful Thinking: Belief, Desire, and the Motivated Evaluation of Scientific Evidence". Psychological Science (dalam bahasa Inggris). 22 (6): 732. doi:10.1177/0956797611406447. ISSN 0956-7976. 
  46. ^ E. Ackerman, Courtney (6 Desember 2021). "Pollyanna Principle: The Psychology of Positivity Bias". PositivePsychology.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 18 Desember 2021. 
  47. ^ Ditto, Peter H.; Lopez, David F. (1992). "Motivated skepticism: Use of differential decision criteria for preferred and nonpreferred conclusions". Journal of Personality and Social Psychology (dalam bahasa Inggris). 63 (4): 568–584. doi:10.1037/0022-3514.63.4.568. ISSN 0022-3514. 
  48. ^ Kunda, Z. (November 1990). "The case for motivated reasoning" (PDF). Psychological Bulletin. 108 (3): 480. doi:10.1037/0033-2909.108.3.480. ISSN 0033-2909. PMID 2270237. 
  49. ^ Dardenne, Benoit; Leyens, Jacques-Philippe (November 1995). "Confirmation Bias as a Social Skill" (PDF). Personality and Social Psychology Bulletin (dalam bahasa Inggris). 21 (11): 1232–1233. doi:10.1177/01461672952111011. ISSN 0146-1672. 
  50. ^ G. Butler, Ray (29 April 2019). Exploratory vs Confirmatory Research. Butler Scientifics. hlm. 1. 
  51. ^ Schneider, Sandra L.; Shanteau, James (2003). Emerging Perspectives on Judgment and Decision Research (dalam bahasa Inggris). London: Cambridge University Press. hlm. 445. ISBN 978-0-521-52718-7. 
  52. ^ Sliwa, Jim (10 Agustus 2018). "Why We're Susceptible to Fake News, How to Defend Against it". www.apa.org. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  53. ^ Namira, Izza; Namira, Izza (26 Agustus 2020). "7 Fakta 'Ngeri' Filter Bubble, Gelembung Virtual Penyaring Informasi". IDN Times. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  54. ^ Self, Will (28 November 2016). "Forget fake news on Facebook – the real filter bubble is you". New Statesman (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 18 Desember 2021. 
  55. ^ El-Bermawy, Mostafa M. (18 November 2016). "Your Filter Bubble is Destroying Democracy". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2021-12-18. 
  56. ^ D’Ardenne, Kimberlee (29 Oktober 2020). "Anti-science thinking: Why it happens and what to do about it". ASU News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 18 Desember 2021. 
  57. ^ Thornhill, Calum; Meeus, Quentin; Peperkamp, Jeroen; Berendt, Bettina (2019). "A Digital Nudge to Counter Confirmation Bias". Frontiers in Big Data. 2: 11. doi:10.3389/fdata.2019.00011. ISSN 2624-909X. 
  58. ^ Mirbabaie, Milad; Ehnis, Christian; Stieglitz, Stefan; Bunker, Deborah; Rose, Tanja (1 September 2021). "Digital Nudging in Social Media Disaster Communication". Information Systems Frontiers (dalam bahasa Inggris). 23 (5): 1107. doi:10.1007/s10796-020-10062-z. ISSN 1572-9419. 
  59. ^ Mackenzie, Richard; Scott, Gray (3 Agustus 2021). "A Short-Term Option for Addressing Misinformation during Public Health Emergencies: Online Nudging and the Human Right to Freedom of Thought". Opinio Juris (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-18. 
  60. ^ Jamieson, Kathleen Hall; Kahan, Dan; Scheufele, Dietram A. (17 Mei 2015). The Oxford Handbook of the Science of Science Communication (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 371. ISBN 978-0-19-049763-7. 
  61. ^ Beveridge, W. I. B. (1957). The art of scientific investigation (edisi ke-2). New York: Norton. hlm. 106. 
  62. ^ Michal, Audrey L.; Zhong, Yiwen; Shah, Priti (2021). "When and why do people act on flawed science? Effects of anecdotes and prior beliefs on evidence-based decision-making". Cognitive Research: Principles and Implications (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 3. doi:10.1186/s41235-021-00293-2. ISSN 2365-7464. 
  63. ^ Hergovich, Andreas; Schott, Reinhard; Burger, Christoph (29 Agustus 2010). "Biased Evaluation of Abstracts Depending on Topic and Conclusion: Further Evidence of a Confirmation Bias Within Scientific Psychology" (PDF). Current Psychology. 29 (3): 189. doi:10.1007/s12144-010-9087-5. ISSN 1046-1310. 
  64. ^ Letrud, Kåre; Hernes, Sigbjørn (2019). "Affirmative citation bias in scientific myth debunking: A three-in-one case study". PLoS ONE. 14 (9): 3–7. doi:10.1371/journal.pone.0222213. ISSN 1932-6203. PMC 6733478 . PMID 31498834. 
  65. ^ Ball, Philip (14 Mei 2015). "The Trouble With Scientists". Nautilus. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-10-07. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  66. ^ Sternberg, Robert J.; III, Henry L. Roediger; Halpern, Diane F. (2007). Critical Thinking in Psychology (dalam bahasa Inggris). London: Cambridge University Press. hlm. 292. ISBN 978-0-521-84589-2. 
  67. ^ Youmans, Sharon; Ozer, Elizabeth (4 November 2017). "Strategies to Address Unconscious Bias | diversity.ucsf.edu". diversity.ucsf.edu. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  68. ^ R Jadad, Alejandro (1998). "Randomised Controlled Trials: A User's Guide". BMJ (dalam bahasa Inggris). 317 (7167): 1258. doi:10.1136/bmj.317.7167.1258. ISSN 0959-8138. PMID 9794885. 
  69. ^ Kuehn, Bridget M (2017-09-29). "Rooting out bias". eLife. 6: e32014. doi:10.7554/eLife.32014. ISSN 2050-084X. 
  70. ^ Haffar, Samir; Bazerbachi, Fateh; Murad, M. Hassan (2019-04-01). "Peer Review Bias: A Critical Review". Mayo Clinic Proceedings (dalam bahasa English). 94 (4): 670–676. doi:10.1016/j.mayocp.2018.09.004. ISSN 0025-6196. PMID 30797567. 
  71. ^ Horrobin, David F. (1990-03-09). "The Philosophical Basis of Peer Review and the Suppression of Innovation" (PDF). JAMA. 263 (10): 1441. doi:10.1001/jama.1990.03440100162024. ISSN 0098-7484.