Sejarah sunting

Kabuyutan Sawal adalah Kabuyutan atau mandala yang merujuk kepada Raden Arya Raksadinata atau Raden Ahmad Raksadinata atau Eyang Raksa seorang panembahan dari Kerajaan Panjalu yang tinggal di tepian Gunung Sawal, tepatnya di Kampung Sukapulang, Desa Kertaraharja, Kecamatan Panumbangan, Ciamis. Dia berasal dari keluarga yang terpandang dan disegani warga sekitar, karena Raksadinata masih keturunan dengan keluarga besar Kerajaan Panjalu. Dia memiliki putra-putri bernama: Kaip, Sanukhri, Abdul Salam dan Uha si gadis cantik.

Salah satu kerabat dekatnya adalah Kyai Haji Abdullah Mubarrok (Abah Sepuh). Kerabatnya ini memiliki ilmu ke agamaan yang luas, maka Eyang Raksa menyarankan Abah Sepuh untuk mendirikan sebuah pengajian pesantren di daerah Tundagan. Hal ini ditanggapi positif oleh Abah Sepuh dan untuk mempererat hubungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka eyang Raksa menyerahkan putranya yang bernama Abdul Salam (Fakih) yang kelak disapa dengan sebutan Abah Faqih, Kyai Haji Muhammad Abu Bakar Faqih yang bergelar si Macan Suryalaya.

Siapakah sebenarnya sosok si Macan Suryalaya ?

Di dalam sejarah kehidupannya ia telah menorehkan tinta emas sebagai ulama spiritual yang ikut berjasa mendirikan Patapan Suryalaya untuk mengamankan, melestarikan, menyebar luaskan ajaran Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Meskipun demikian dia merasa hanya menyumbangkan sebagian kecil pengabdian untuk kejayaan agama, khususnya Tarekat Qoodiriyah wa Naqsyabandiyah di Patapan Suryalaya. Seperti dikatakan oleh seorang penyair:

Seolah-olah kerikil dan pasir sumbangannya itu di bawah tumpukkan bahan-bahan lainnya dari jutaan ikhwan TQN Suryalaya yang ikut menyelamatkan dan mengembangkan, serta mendukung bangunan tersebut. Berkat rahmat Allah SWT dimasa hidupnya dia diangkat Abah Sepuh sebagai salah satu guru mursyid, pemimpin, TQN di Patapan Suryalaya.

Upaya melestarikan, mengamankan dan menyebarluaskan ajaran TQN Patapan Suryalaya, Abah Faqih menjadikan sebuah masjid dan tempat kediamannya sebagai wadah melatih diri dalam bertasawuf, yaitu pekerjaan dzikir, salat-salat sunat, khotaman, manaqiban, berpuasa, berkholwat, muroqobah, muhasabah, dan riyadhoh khusus lainnya.

Pada tahun 1980an, karena usianya yang sudah lebih dari seratus tahun ditambah kondisi fisik yang sudah tidak memungkinkan untuk sering berpergian, dia menunjuk putranya yang bernama Haji Dudung meneruskan perjuangannya menyebarkan agama Islam bernuansakan tasawuf di bawah panji pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat.:

Kenyataan memang tidak bisa ditutup-tutupi, hal yang demikian serupa dengan ucapan Syekh Mursyid Pangersa Abah Anom kepada Dudung pada tahun 1960 di Patapan Suryalaya. Kala itu usia Dudung masih belia dan belum berumah tangga (bujangan). Beberapa tahun setelah ia menetap di Suryalaya, Haji Dudung mohon restu kepada gurunya untuk mengembara, ketika itu pangersa Abah Anom memberitahukan bahwa kelak dirinya sebagai pengganti dan penerus Abah Faqih

Dengan penuh kepasrahan H. Dudung menerima apa yang telah disampaikan guru spiritualnya, kelak jika telah tiba waktunya ia akan menjadi penerus dan pengganti ayahnya, Syekh Muhammad Abu Bakar Faqih, si Macan Suryalaya. Mengenai keabsahannya, bagi para pembaca yang meragukan hal tersebut dipersilahkan “langsung” bertanya kepada syekh mursyid pangersa Abah Anom, dan bukan kepada yang lain, alhamdulillah kini dia masih sehat walafiat dan semoga dipanjangkan usia dunianya, amin.

Subhanalloh... Bagi seorang musafir yang mencari penerang di malam kelam, cahaya bulan dapat menuntun perjalanan. Padahal itu hanyalah sinar pantulan, namun mampu meneruskan sinar mentari yang telah ditelan bayangan. Semoga jiwa yang baik menerima bagian yang sudah disediakan…amiin.

Setelah sang Macan Suryalaya telah tiada, perjuangannya kini diteruskan oleh Haji Dudung Zaenal Abidin (Ahmad Abidin) dengan mendirikan suatu Zawiyah di sekitar Pondok Labu (Pangkalan Jati) sebagai tempat melatih diri dalam bertasawuf. Ketika reputasinya berkembang pada tahun 1990an, Dudung dan keturunannya diterpa “iklan gratis nan jitu”, gosip berupa hinaan, maupun fitnahan. Ibarat pepatah, semakin tinggi pohon semakin keras terpaan angin, itu pula yang dialami Dudung. Semakin ia berkibar, semakin banyak isu yang mengguncangnya. Ia telah dianggap sesat dan menyeleweng. Kini jika ada orang menyebut Haji Dudung dari Pondok Labu pasti keluarnya yang jelek-jelek, dan ada pula yang menyebut dirinya adalah seorang buta huruf, statusnya sosial rendah, seorang dukun, gelandangan, dan sebagainya.

Semuanya ia terima dengan tangan terbuka, dengan alasan ini adalah alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang timbul tenggelam pada diri manusia dan hal seperti itu bisa saja terjadi di kalangan orang-orang ahli dzikir, bahkan mereka sendiri yang menyebar isu seperti itu. Menurut Haji Dudi Riswan. SH., seorang ikhwan dan pengusaha eksekutif asal Batam mengatakan bahwa, hinaan dan fitnahan terhadap Haji Dudung dan keluarganya ibarat snow ball, menggelinding semakin jauh dan besar sampai mancanegara.

Siapakah sebenarnya Haji Dudung Ahmad Abidin? Dan mengapa sebagian saudara kita yang seiman dan seaqidah sampai hati menghujat dan memfitnahnya? Memang, suka duka yang dialami Macan Suryalaya beserta keturunan merupakan romantika perjalanan hidup yang menarik untuk di simak, sehingga yang asalnya samar menjadi jelas, yang asalnya tidak paham menjadi paham. Jika kita mampu menyikapinya dengan matahati, bukan nafsu dan akal saja, maka insya Allah kita bisa menemukan hikmah dan dapat mengambil manfaatnya. Dan semoga Allah swt membuka pintu hati kita untuk memahami segala kehendak dan takdir-Nya. Amin Yaa Robbal ‘alamin.

Rujukan sunting

  • Macan Suryalaya-Perjalanan dan Pengabdiannya.
  • Buku kenang-kenangan Hari Ulang Tahun Pondok pesantren Suryalaya ke 95.
  • Satu Abad Ponpes Suryalaya, diterbitkan Yayasan Serba Bhakti Ponpes Suryalaya.