Aluh Idut atau yang bernama asli Siti Warqiah ditulis juga Siti Warkiyah. (lahir di Parincahan, Kandangan tahun 1905-5 Februari 1958). Dia anak pertama dari pasangan Haji Muhammad Hapip dan Siti Murah. Orang tuanya memiliki empat orang anak, Siti Warkiyah atau Aluh Idut, Mussafa Hapip, Masuardi dan Basiun Hapip.[1] Berdasarkan cerita orang tuanya, nama Aluh Idut berasal dari fisiknya yang lebih besar dan subur dibanding wanita kebanyakan. Karena itulah dia mendapatkan julukan Aluh (galuh) yang gendut.

Aluh Idut sebagai anak sulung dari empat bersaudara dibesarkan di lingkungan semangat nasionalisme yang pekat.Sejak dari kecil, Aluh Idut bersama saudaranya sering diceritakan riwayat perjuangan rakyat melawan penjajah khususnya tentang perang Banjar, perang Amuk Hantarukung dan peristiwa perang lainnya.

Pendidikan sunting

Pada tahun 1916 Aluh Idut mengenyam pendidikan di Verfolk School (sekolah rakyat)[2] lima tahun dan berhasil menyelesaikannya. Selesai sekolah, ia pun mengakhiri masa remajanya tahun 1922 setelah menikah dengan seorang pemuda bernama Utuh Kaderi yang merupakan seorang sopir angkutan. Tapi, sayangnya dalam pernikahan, Aluh Idut tidak memiliki keturunan dan meminta cerai ketika sang suami menikah lagi.

Organisasi sunting

Sejak tahun 1932 Aluh Idut bergabung dengan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) Cabang Kandangan dan menjadi satu-satunya perempuan dari Kandangan. PBI inilah yang kemudian melebur menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya) tahun 1935 dan tahun 1936 menjadi anggota anggota Parindra (Partai Indonesia Raya) Cabang Kandangan.

Di tahun 1937 bersama H Saniah dan H Rafa’I, Aluh Idut diutus menjadi delegasi Cabang Kandangan dalam kongres Parindra di Bandung. Kemudian tahun 1938, Aluh Idut menduduki jabatan Ketua pada Pengurus Besar Jamiatun Nissa (bagian keputrian) di lingkungan Pengurus Musyawaratuthalibin di Kandangan.

Selanjutnya di tahun 1940, Aluh Idut menjadi anggota Panitia Kongres Wanita Kalimantan yang dilaksanakan di Kandangan. Pada tahun 1943-1949 dalam masa penjajahan Jepang, Aluh Idut juga bergabung dalam Fujingkai, bagian propaganda tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Kemudian tahun 1945 termotivasi diturunkannya bendera merah putih oleh tentara NICA di Kandangan, Aluh Idut memasuki barisan pelopor pemberontakan Kalimantan Indonesia (BPPKI) sebagai anggota penghubung dan penyelidik. Aluh Idut memberikan senyalemen dan senjata ke pedalaman.

Baru tahun 1946, Aluh Idut menjadi anggota Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) Cabang Kandangan dan tahun 1947 menjadi anggota ALRI Divisi IV A Pertahanan Kalimantan untuk daerah X 18.

Aluh Idut yang mensuplai senjata ke pedalaman dan membuka dapur umum kerap dicurigai keterlibatannya dalam berbagai organisasi perjuangan. Tepat jam 11 hari Jumat bulan 11 tahun 1948 Aluh Idut ditangkap bersama menantu angkatnya bernama Lamri oleh dua orang reserse Belanda. Aluh Idut ditangkap karena ada penghianatan dari seorang pejuang yang sudah dijanjikan NICA Belanda akan mendapatkan kekayaan.

Belanda pun menyiksa Aluh Idut. Pukulan tendangan sampai disetrum dengan listrik pernah dialami Aluh Idut, bahkan ia sampai pingsan beberapa kali. Tetapi Aluh Idut masih mampu bertahan dan konsisten tidak membeberkan rahasia perjuangan.“Tekad beliau sebagai pejuang tetap pantang mundur tak mau menyerah waja sampai kaputing,” tutur Ratnawati.

Derita dan hukuman masih dialami saat republik baru merdeka. Intimidasi terhadap Aluh Idut dihentikan setelah perundingan Munggu Raya 2 September 1949, di mana para gerilyawan pejuang yang tergabung dalam ALRI Divisi IV diakui secara resmi sebagai anggota Angkatan Perang Republik Indonesia. Aluh Idut pun dibebaskan dari tahanan.

Setelah ALRI Divisi IV Kalimantan diakui secara resmi September tahun 1949, Aluh Idut kemudian ditugaskan oleh Gubernur Militer ALRI Divisi IV, Hassan Basery mengadakan pembinaan dan kontak dengan gerilyawan pejuang yang masih tersebar di banyak tempat Kalimantan Tengah guna menginformasikan adanya persetujuan gencatan senjata yang sudah disepakati.

Dalam penugasan sebagai duta keliling tersebut Aluh Idut sempat pula meresmikan beberapa markas gerilya yang selanjutnya berfungsi menjadi alat pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV.

Dalam misi tersebut fisiknya sudah kurang menguntungkan, Aluh Idut pun jatuh sakit. Bahkan sebelum meninggal dunia, ia berencana menunaikan ibadah haji, tapi tidak terjadi karena kondisinya tidak memungkinkan dan sempat di rawat di rumah sakit umum di Banjarmasin.

Kemudian 5 Februari 1958, Aluh Idut meninggal dunia di Kandangan. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya Presiden Panglima Tertinggi ABRI pada 10 November 1958 memberikan bintang gerilya dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 12 Agustus 1958 nomor 175/1959, Aluh Idut diangkat sebagai Letnan I (Anumerta).

Referensi sunting

  1. ^ https://banjarmasin.tribunnews.com/2022/11/10/tak-tercatat-sebagai-pahlawan-nasional-begini-sosok-aluh-idut-di-masa-perjuangan-kemerdekaan
  2. ^ https://jejakrekam.com/2022/02/02/mengabadikan-semangat-kepahlawaan-aluh-idut-pejuang-perempuan-asal-kandangan/