Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah dua ketetapan adat yang tumbuh dari tanah disempurnakan dengan satu ketetapan yang datang dari langit.[1]

Minangkabau

Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Indonesia: adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah, selanjutnya disingkat ABSSBK) adalah aforisme terkait pengamalan adat dan Islam dalam masyarakat Minangkabau. ABSSBK dideskripsikan bahwa adat Minangkabau harus "bersendikan" kepada syariat Islam, yang pada gilirannya didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah.[2] Versi lengkap ungkapan ini memiliki lanjutan syarak mangato adaik mamakai (Indonesia: syariat berkata, adat memakai), yakni fakta historis bahwa Islam tiba di wilayah Minangkabau melalui pesisir dan bertemu dengan pengaruh adat di dataran tinggi.[3]

ABSSBK juga dikenal sebagai aforisme di daerah Nusantara lainnya seperti Aceh,[4] Riau,[5] Jambi,[6] Kerinci, Banjar,[7] Gorontalo, dan Tidore.[8] Bahkan, ABSSBK menjadi motto dari Provinsi Gorontalo.[9][10]

Pemopuler sunting

 
Syekh Sulaiman ar-Rasuli, ulama Minangkabau yang mempopulerkan ungkapan Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang juga dikenal sebagai Inyiak Canduang (10 Desember 1871 – 1 Agustus 1970) adalah seorang ulama Minangkabau yang mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang. Ia dianggap sebagai tokoh yang menyebarluaskan gagasan keterpaduan adat Minangkabau dan syariat lewat ungkapan Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Makna sunting

"Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan juga merupakan filosofi hidup yang di pegang dalam masyarakat Minangkabau, yang menjadikan ajaran Islam sebagai satu satunya landasan dan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan.[11]

Pesan moral kata Alam Minangkabau, secara eksplisit untuk menggugah kearifan setiap pribadi di muka bumi ini, pada seluruh ummat manusia bahwa pada prinsipnya seluruh manusia yang ada di bumi ini adalah satu : berada dalam satu kesatuan dari sistem alam semesta ciptaan Allah SWT meliputi alam makrokosmos dan mikrokosmos.

Konsep kepemimpinan di Alam Minangkabau mengacu pada surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya : "Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat. Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi". Juga dalam surat Ad-Zaariyaat ayat 56 yang artinya : "Tidak aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-KU". Konsekuensi dari tugas manusia selaku khalifah menjadi amanah untuk di laksanakan. Seperti : Mewujudkan Kemakmuran, untuk keluarga, kamanakan, dan masyarakat. Mewujudkan Keselamatan. Beriman dan beramal sholeh. Serta bekerja sama menegakkan kebenaran.[11]

Karakter sunting

Proses dialektika, pertentangan dan perimbangan oleh orang Minangkabau telah membentuk masyarakat Minangkabau yang memiliki karakter, watak dan sikap yang jelas menghadapi kehidupan.[12] Karakter tersebut diantaranya yaitu :

  1. Penekanan terhadap nilai – nilai keadaban dan menjadi kekuatan budi dalam menjadi kehidupan.
  2. Etos kerja yang didorong oleh penekanan terhadap kekuatan budi yang mendasari pada setiap orang untuk dapat melakukan hal – hal berguna bagi semua orang.
  3. Kemandirian, etos kerja dalam melaksanakan khalifah menjadi kekuatan menjadi orang Minangkabau untuk dapat hiudup mandiri tanpa tergantung oleh orang lain.
  4. Toleransi dan Kesamaan Hati. Meskipun terdapat kompetisi, namun adanya rasa kesamaan menimbulkan toleransi khususnya dalaam memandang komunitas.
  5. Kebersaman. Adanya toleransi dan kesamaan hati terhdap komunitas menyebabkan tumbuhnya kesadaran sosial untuk dapat hidup dan menjalani hidup secara bersama – sama.
  6. Visioner.Adanya nya budi pekerti, etos kerja yng tinggi dan kemandirian diiringi semangat kebersamaan dan toleransi yang tinggi menimbulkan pandangan jauh kedepan.[12]

Implikasi Penetapan sunting

Ketentuan Pasal 5C Undang-Undang No. 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatra Barat memuat Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah sebagai filosofi adat Minangkabau. Namun penetapan filosofi adat Minangkabau tersebut belum memiliki tolok ukur yang jelas, sehingga dikhawatirkan membuat politik hukum pemerintah daerah Sumatra Barat terkesan memihak satu kelompok tertentu. Filosofi adat yang bersendikan syarak dikhawatirkan akan membentuk perda berbasis syariah. Selain itu, filosofi tersebut menjurus kepada satu adat yakni Minangkabau sehingga mempertanyakan bagaimana kedudukan Mentawai di Sumatra Barat yang bukan masyarakat adat Minangkabau.[13]

Penerapannya dalam Kehidupan sunting

Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah bertujuan untuk memperjelas kembai jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang mampu menggerakkan ruang lingkup kehidupan. Penerapan Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah merupakan kolaborasi antara adat dan agama yang diaplikan dalam kehidupan sosial budaya Minangkabau. Hal ini dapat dilakukan dengan pembinaan generasi muda di surau-surau, masjid dan lembaga yang ada di setiap kelurahan dan nagari.[14]

Ada empat macam adat yang sudah disepakati di Minangkabau, yaitu :

  1. Adaik nan sabana adaik (adat yang sebenar adat. Adat yang sebenar adat merupakan ajaran Islam yang bersumber pada kitab suci Al Qur'an dan Hadits.
  2. Adaik nan diadai-kan (adat yang diadatkan) Adat yang diadatkan merupakan aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakat
  3. Adaik nan taradaik (adat yang teradat) Adat yang teradat merupakan ketentuan adat yang disusun di nagari untuk menjalankan adat nan sabana adat serta adat nan diadatkan.
  4. dan Adaik istiadaik (adat istiadat). Adat istiadat merupakan jenis adat Minangkabau yang dibuat oleh para pemangku adat, pemerintahan nagari dan lainnya terhadap sebuah masalah atau kondisi tertentu.[14]

Sejarah sunting

"Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "Adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam Adat Minangkabau.

Namun sebelum istilah ini diterapkan oleh masyarakat Minangkabau, terjadi salah satu perang yang sangat menyita warga Minangkabau dan Sumatera pada umumnya adalah Perang Padri yang juga dikenal sebagai Perang Minangkabau. Kaum Padri adalah umat muslim yang ingin menerapkan Syariat Islam di negeri Minangkabau di Sumatera Barat. Sedangkan kaum Adat mencakup para bangsawan dan ketua-ketua adat. Mereka meminta tolong kepada Belanda, yang kemudian ikut campur pada tahun 1821 dan menolong kaum Adat mengalahkan faksi Padri.

Melansir dari berbagai sumber, Perang Padri terjadi dari tahun 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat tersebut terjadi antara kaum Padri dan Adat. Juga disebutkan, pertempuran terjadi di daerah Sumatera Barat terbagi ke dalam dua periode yang terpisah, yaitu pada tahun 1821-1825 dan 1830-1837.

Adapun yang melatar belakangi perang Padri, bermula dari konflik antara para ulama dan penduduk pribumi atas pelaksanaan ajaran Islam di Minangkabau. Kaum padri yang terdiri dari berbagai ulama menolak adat-istiadat yang banyak dipraktikkan oleh penduduk asli di sekitar kerajaan Pagaruyung. Pada dasarnya, penduduk asli dan kerajaan Pagaruyung juga memeluk Islam, namun dianggap tidak serius oleh kaum Padri meninggalkan adat, hingga menyebabkan perang pada tahun 1803. Perang Padri dimulai tidak lama setelah kembalinya tiga ulama Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, yang ingin memperbaiki Syariat Islam, yang tidak sepenuhnya diterapkan oleh masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik dan kemudian ikut mendukung keinginan ketiga ulama tersebut. Bersama para ulama lainnya, delapan tokoh ini dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau Delapan). Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau, yang berkerabat dekat dengan Yang Tuanku Pagaruyung Sultan Arifin Muningsah, untuk mengajak penduduk pribumi agar meninggalkan beberapa adat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam beberapa kali perundingan antara Kaum Padri dan masyarakat adat tidak tercapai kesepakatan. Konflik ini menimbulkan keresahan di beberapa desa Kerajaan Pagaruyung hingga tahun 1815 ketika Kaum Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Lintau menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecah perang di Koto Tangah.

Serangan ini memaksa Sultan Arif Muningsah menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan. Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini Namun kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial Belanda.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.

Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822.

Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali menyerang Lintau. Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar.

Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Saat itu memang posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah. Selama periode gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar.

Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau.[15]

Referensi sunting

  1. ^ "Adat Minangkabau". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2023-12-22. 
  2. ^ Benda-Beckmannn, Franz; Benda-Beckmannn, Keebet von (2006-01). "Changing One is Changing All: Dynamics in the Adat-Islam-State Triangle". The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law (dalam bahasa Inggris). 38 (53-54): 239–270. doi:10.1080/07329113.2006.10756604. ISSN 0732-9113. 
  3. ^ Abdullah, Taufik (1987). Sejarah dan masyarakat: lintasan historis Islam di Indonesia. Pustaka Firdaus. 
  4. ^ Ramulyo, M. Idris (1992). Perbandingan hukum kewarisan Islam di pengadilan agama dan kewarisan menurut Undang-Undang Hukum Peerdata (BW) di pengadilan negeri: suatu studi kasus. Pedoman Ilmu Jayu. 
  5. ^ Pemerintah Daerah Propinsi Riau, Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau, Sekretariat Daerah
  6. ^ Pemerintah Propinsi Jambi, Peraturan Daerah Nomor 2 tentang Lembaga Adat Melayu Jambi, Sekretariat Daerah Propinsi Jambi, 2014.
  7. ^ Adat Basandi Syarak dalam Falsafah Masyarakat Banjar "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-05-27. Diakses tanggal 2015-05-27.
  8. ^ Burhanudin, Dede (2013). Rumah ibadah bersejarah. Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI. ISBN 978-602-8766-83-8. 
  9. ^ "Provinsi Gorontalo: Bumi Serambi Madinah di Gerbang Utara Indonesia". Kompaspedia. 2021-03-03. Diakses tanggal 2021-09-28. 
  10. ^ "Adat bersendikan syarak". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2023-12-06. 
  11. ^ a b "FALSAFAH HIDUP ORANG MINANGKABAU. ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH". Nagari ANDALEH Kecamatan Luak Kabupaten Limapuluh Kota. Diakses tanggal 2023-12-26. 
  12. ^ a b "FALSAFAH BUDAYA MINANG ADAT BASANDI SARAK, SARAK BASANDI KITABULLAH". sumbarprov.go.id. Diakses tanggal 2023-12-27. 
  13. ^ Alfarid, Adam; Junior, Chindy Trivendi; Ramadani, Putri (2022-10-31). "Implikasi Penetapan Adat Basandi Syarak - Syarak Basandi Kitabullah dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Sumatra Barat Terhadap Politik Hukum Pemerintah Daerah Sumatra Barat". Jurnal Hukum Lex Generalis. 3 (10): 776–794. doi:10.56370/jhlg.v3i10.325. ISSN 2746-4075. 
  14. ^ a b Muhammad Jamil, ; (2020). Implementasi penerapan adat basandi syara' syara' basandi kitabullah (ABS SBK) di Minangkabau (dalam bahasa Indonesia). Cinta Buku Agency. 
  15. ^ radarmukomuko.disway.id. "Ini Sejarah Asal Usul Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah". radarmukomuko.disway.id. Diakses tanggal 2023-12-26.