Abhidhamma Piṭaka

Abhidhamma Piṭaka ("Keranjang Dhamma Luhur") adalah salah satu dari tiga bagian Tipiṭaka versi Kanon Pāli yang diakui oleh aliran Theravāda yang berisi penjelasan Dhamma dalam perincian kebenaran luhurnya; dua bagian lainnya adalah Sutta Piṭaka dan Vinaya Piṭaka.[1] Abhidhamma Piṭaka merupakan pengerjaan ulang skolastik yang terinci dari diskursus yang terdapat pada Sutta Piṭaka, disusun menurut klasifikasi skematis.[2] Berbeda dengan Sutta Piṭaka, Abhidhamma Piṭaka tidak menggunakan istilah konvensional atau konsep dalam menjelaskan doktrin; melainkan hanya menggunakan istilah yang merujuk kepada kebenaran luhur/hakiki. Kebenaran luhur yang dijelaskan dalam Abhidhamma Piṭaka adalah citta (kesadaran), cetasika (faktor-faktor mental), rūpa (materi), dan Nibbāna.

Abhidhamma
Abhidhamma Pitaka

Sejarah sunting

Menurut catatan sejarah, Abhidhamma Pitaka adalah suatu kitab yang baru resmi dituliskan pada Muktamar (sanghayana) keempat yang diselenggarakan di Aluvihara, Sri Lanka pada tahun 83 Sebelum Masehi. Pada mulanya, kitab ini dituliskan pada lembaran-lembaran daun lontar, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Pali (Magadha). Namun, beberapa tahun kemudian telah terdapat Abhidhamma Piṭaka yang ditulis dalam bahasa Sinhala, Devanagari, Myanmar, Thai, Inggris dan lain-lain.

Pengertian sunting

Abhidhamma berasal dari istilah Pali yang secara etimologinya terdiri dari dua kata yaitu Abhi yang berarti tinggi, agung, luhur, luas, dan Dhamma yang berarti kebenaran atau ajaran kebenaran dari Sang Buddha. Jadi, Abhidhamma berarti ajaran yang luhur, agung, atau tinggi dari Sang Buddha. Dalam kitab ulasan Atthasalini, Buddhaghosa Thera menjelaskan bahwa kata sifat Abhi secara harfiah berarti melebihi, melampaui, dan mengungguli. Dhamma dalam Sutta Piṭaka adalah ajaran biasa (Vohara desana) dan banyak menggunakan istilah-istilah konvensional, seperti manusia, binatang, benda-benda, dan sebagainya. Sedangkan, Abhidhamma adalah ajaran tertinggi (paramatha desana), maka segala sesuatunya dianalisis secara teliti dan digunakan istilah-istilah yang analitis seperti kelompok kehidupan (khandha), unsur (dhatu), landasan (ayatana) bahkan jalan pembebasan diterangkan dengan kata yang terang, jelas, dan tepat.

Sebagai ajaran tertinggi Abhidhamma memungkinkan seseorang untuk mencapai pembebasan mutlak dari semua bentuk penderitaan karena Abhidhamma berguna untuk mengembangkan pandangan terang (Vipassana bhavana). Akan tetapi, tidak pula dikatakan bahwa Abhidhamma mutlak atau sangat perlu untuk mencapai kebebasan, pengertian, dan pencapaian kebebasan semata-mata tergantung pada diri sendiri. Dikatakan bahwa Empat Kesunyataan Mulia yang merupakan landasan ajaran Sang Buddha terdapat dalam diri masing-masing manusia. Dhamma tidak terlepas dari diri manusia sendiri; manusia perlu mencari ke dalam diri mereka sendiri dan kebenaran akan tampak.

Dari Sutta dijelaskan bahwa terdapat orang-orang yang mencapai pencerahan tanpa mengenal Abhidhamma terlebih dahulu, seperti:

  • lima orang Bhikkhu yang kemudian dikenal sebagai Pancavagiya (Kondaña, Vappa, Bhaddiya Mahanama dan Assaji) mampu mencapai kesucian setelah mendengar khotbah Sang Buddha, yaitu pemutaran Roda Dhamma (Dhammacakkappavattana Sutta).
  • Upatisa yang kemudian dikenal sebagai Y.A. Sariputta mencapai Sotappana hanya mendengar setengah bait "Hubungan Kausal" yang diajarkan oleh Y.A. Assaji, padahal waktu itu Ia belum belajar Abhidhamma.
  • Patacara, seorang ibu yang sedang bersedih karena kehilangan orang yang paling dekat dan paling disayang olehnya mampu mencapai pembebasan melalui perenungan pada air yang membasahi kakinya atas nasihat Sang Buddha.
  • Culapantaka, seorang yang tidak mampu menghapal sebait syair dalam waktu kurang lebih satu vassa, mencapai kearahatan dengan mengamati proses "Ketidak kekalan" yaitu dengan cara memandang sehelai saputangan yang bersih di bawah terik matahari.

Pembabaran Abhidhamma sunting

Dikatakan bahwa Abhidhamma sesungguhnya kekal abadi; ia berada dalam alam semesta yang sangat luas ini, hanya suatu ketika Abhidhamma itu dilupakan oleh para Brahma, dewa dan manusia, pada saat itulah muncul Sammasambuddha yang akan mengajarkan Abhidhamma kepada mahluk-mahluk. Mahluk-mahluk seperti Savaka Buddha, Arahat, dan ariya Puggala tidak mampu mengajarkan Abhidhamma bila tidak belajar atau mendengar ajaran Abhidhamma.

Para Attakathacariya pernah menjelaskan dalam Paticcasamuppadavibhagathakatha sebagai berikut:

Ayam abhidhamo nama na adhuno katonapi bahiraka isihiva dewatahi va bhasito sabbannujinabhasito pana ayam.
Artinya: Abhidhamma bukan hanya muncul dalam zaman sekarang ini saja, para resi (pertapa atau orang suci) atau dewa tidak mampu mengajarkan Abhidhamma (jika tidak belajar). Hanya Sammasambhuda saja yang dapat mengajarkannya.

Dalam kitab Ulasan atas Dhammapada, Khudaka Nikaya, kitab Ulasan Udana, dan Ulasan Itivuttaka dapat dijumpai data historis kisah berkenaan dengan Abhidhamma sebagai berikut:

  • pada minggu keempat setelah pencapaian penerangan sempurna Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakannya dan bermeditasi mengenai Abhidhamma.
  • Tahun ketujuh setelah pencapaian penerangan sempurna selama satu vassa Sang Buddha mengunjungi surga Tavatimsa dan memberikan pelajaran Abhidhamma kepada dewi Maya dan pada dewa secara terperinci (Vittharanaya).
  • Pada kesempatan yang sama (Vassa) Ia mengajarkan kepada Y.A. Sariputta di hutan kayu cendana secara singkat (Sankhepanaya).
  • Y.A. Sariputta mengajarkan Abhidhamma kepada siswanya secara setengah ringkas dan setengah rinci (athivitharananatisankhepanaya) atas wewenang dari Sang Buddha untuk mengajarkan Abhidhamma kepada siswa-siswanya. Akhirnya Abhidhamma menjadi topik yang menarik di antara siswa Sang Buddha, termasuk Ananda Thera.
  • Pada Sangha Samaya Ketiga di Pataliputta diulanglah Abhidhamma Pitaka oleh Y.A. Kassapa Thera. Dan selanjutnya pada Sangha samaya keempat di Aluvihara secara resmi ditulis dalam sebuah kitab Tipitaka.

Isi Abhidhamma Pitaka sunting

Abhidhamma Pitaka berisi tentang uraian mengenai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha Dhamma, yang terdiri dari 42.000 Dhammakhandha (pokok Dhamma), yang terbagi menjadi tujuh kitab:

  1. Dhamma sangaṇī. Kitab Dhammasangani yang secara harafiah berarti penggolongan Dhamma yang terbagi dalam empat bab, berisikan penguraiaan paramattha dhamma yaitu etika /sari batin.
  2. Vibhanga. Kitab Vibhanga menguraikan tentang pemilahan paramatha Dhamma yang terdapat dalam Dhammasangani dan terdiri dari delapan belas bab.
  3. Dhātukathā. Kitab Dhatukatha menguraikan tentang pemaparan unsur-unsur yang terdiri dari empat belas bab.
  4. Puggala paññatti. Kitab Puggalapañatti menguraikan tentang penjelasan berbagai jenis orang yang terdiri dari 10 bab.
  5. Kathāvatthu. Kitab Kathavathu menguraikan tentang pokok-pokok pertentangan dalam bentuk tanya jawab yang terdiri dari dua puluh tiga bab.
  6. Yamaka. Kitab Yamaka menguraikan pemaparan paramatha dhamma secara berpasangan yang terdiri dari sepuluh bab.
  7. Paṭṭhana. Kitab Pathana menguraikan tentang duapuluh empat ketergantungan (paccaya).

Kitab Abhidhammatthasangaha sunting

Pengertian Abhidhammathasangaha sunting

Abhidhammathasangaha berasal dari bahasa pali yang terdiri atas lima kata, yaitu abhi yang berarti halus/tinggi, Dhamma yang berarti kebenaran atau pelajaran dari Sang buddha, attha yang berarti intisari, san yang berarti singkatan, dan gaha yang berarti gabungan, jadi Abhidhammathasangaha berarti singkatan dari gabungan intisari Abhidhamma Pitaka. Abhidhammathasangaha berisikan pelajaran mengenai citta (kesadaran), cetasika (bentuk-bentuk batin), rupa (materi), dan nibbana (nirwana). Buku Abhidhammathasangaha ditulis oleh Ven Anurudhacariya Maha Thera pada tahun 357 S. M atau 900 BE. Abhidhammathasangaha sangat penting untuk dipelajari, karena merupakan pokok dasar Abhidhamma. Umat buddha yang ingin mempelajari Abhidhamma Pitaka untuk mendapat pengertian yang baik harus mempelajari Abhidhammathasangaha terlebih dahulu.

Penjelasan Citta, Cetasika, Rûpa dan Nibbana sunting

Citta sunting

Citta berasal dari kata Citti yang berarti berpikir. Menurut Abhidhamma, citta berarti kesadaran akan suatu objek atau sesuatu yang sadar terhadap objek. Sinonimnya adalah ceta, citupada, nama, mana dan Viññana. Bila suatu makhluk dibagi menjadi dua, yaitu nama (batin) yang digunakan. Tetapi jika dibagi menjadi lima kelompok kehidupan (pancakkhandha) digunakan istilah Viññana atau kesadaran. Istilah Citta digunakan dalam hubungannya dengan berbagai tingkat kesadaran. Pada dasarnya tidak ada perbedaaan antara batin dengan kesadaran. Ada pernyataan dalam bahasa pali sebagai berikut: “Aramanam cintetiti cittan“ yang artinya “keadaan yang mengetahui objek", yaitu menerima objek. Citta atau kesadaran itu akan muncul dalam diri kita bilamana ada indra kita yang mencerap objek dari luar. Citta atau kesadaran itu akan muncul dalam diri kita bilamana ada indra kita yang mencerap objek dari luar. Menurut sifat atau keadaan, bahwa kesadaran atau pikiran itu adalah “keadaan yang mengetahui objek“ saja, maka kesadaran itu hanya satu. Tetapi bila ditinjau menurut keadaan yang diketahui dan bagian yang diketahui maka Citta itu ada banyak. Yaitu mengetahui dalam hal keinginan yang baik atau yang tidak baik, mengetahui dalam hal Rupa jhana (jhana berbentuk), mengetahui dalam hal arupajjhana (jhana tak berbentuk), atau mengetahui dalam hal Nibbana. Jadi bila kesadaran/pikiran itu dihitung secara terperinci maka ada 89121 macam/tipe kesadaran. Dalam jumlah tersebut di atas citta atau kesadaran dapat dikelompokkan menjadi empat bagian:

  1. Kamavacara citta:terdiri dari 54 tipe kesadaran, yaitu kesadaran atau pikiran yang bergetar atau berkelana di Kamma Bhumi/kammaloka sebelas (11 alam kamma), atau sering dikenal dengan tipe kesadaran yang berkenaan dengan alam indria. Tipe kesadaran/pikiran ini terbagi menjadi tiga bagian yang meliputi:
    • Akusala Citta, yang terdiri atas dua belas tipe kesadaran/pikiran tidak baik atau amoral karena timbul dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin).
    • Ahetuka Citta, yang terdiri atas 18 tipe kesadaran/pikiran yang tidak bersekutu dengan sebab atau hetu karena kesadaran atau pikiran ini merupakan hasil atau akibat dari perbuatan-perbuatan masa lampau.
    • Kammavacara sobhana citta, yang terdiri atas 24 tipe kesadaran atau pikiran baik, yang berkelana di alam kama bhumi.
  2. Rūpavacara citta, terdiri dari 15 tipe kesadaran, yaitu kesadaran yang mencapai objek dari Rupajjhana atau kesadaran/pikiran yang berkelana di Rupa Bhumi (alam berbentuk).
  3. Arūpavacara Citta, terdiri dari 12 tipe kesadaran atau pikiran yang mencapai objek dari Arupajjhana (Kesadaran pikiran yang berkenaan dengan alam Arupa).
  4. Lokuttara Citta, terdiri dari 840 tipe kesadaran/pikiran, yaitu kesadaran/pikiran di luar tiga dunia (kesadaran/pikiran di atas duniawi).

Cetasika sunting

Cetasika atau bentuk-bentuk batin adalah keadaan yang bersekutu dengan citta. Gejala yang bersekutu dengan citta disebut “Cetoyuttalakkhana“ yaitu keadaan yang bersekutu dengan citta disertai sifat 4 macam:

  1. Ekuppada, yang berarti timbulnya bersama dengan citta.
  2. Ekaniroda, yang berarti padamnya bersama dengan citta.
  3. Akalambana, yang berarti mempunyai objek yang sama dengan citta.
  4. Ekavatthuka, yang berarti pemakaian objek sama dengan citta. Karena setiap jenis cetasika mempunyai sifat yang tidak sama, maka terdapat 52 jenis cetasika, yang terbagi atas tiga bagian:
    • Aññasamana cetasika, berarti bentuk-bentuk batin yang sama keadaannya yang dapat bersekutu dengan semua tipe kesadaran/pikiran yang baik danjahat, yang terdiri atas 13 macam.
    • Akusala cetasika, berarti bentuk-bentuk batin yang jahat. Cetasika ini merupakan bentuk-bentuk batin yang membentuk semua kejadian yang tidak baik dari kesadaran/pikiran, yang semuanya berjumlah 14 macam.
    • Sobhana cetasika, berarti bentuk-bentuk batin yang baik, disebut demikian karena cetasika ini umumnya dibagi keseluruhan menjadi moral yang baik dari kesadaran/pikiran. Cetasika ini muncul dalam kombinasi yang beraneka ragam dalam pernyataan kesadaran yang baik dan jumlahnya terdiri dari 25 macam.

Rûpa sunting

Rûpa adalah suatu keadaan yang dapat bercerai-berai atau berubah padam dengan kedinginan dan kepanasan. Rupa sering diterjemahkan dengan materi, bentuk-bentuk, tubuh dan sebagainya. Rupa/jasmani setiap makhluk itu pada hakikatnya akan timbul karena adanya 4 macam kebutuhan (4 paccaya), yang meliputi:

  1. Kamma atau karma yaitu perbuatan atau kehendak yang baik maupun yang tidak baik. Jika perbuatan baik yang lebih banyak dilakukan, maka jasmani yang terbentuk tentu akan normal tidak ada cacatnya, juga akan cantik dan tampan, serta selalu sehat. Tetapi jika perbuatan tidak baik yang lebih banyak dilakukan maka jasmani yang terbentuk umumnya tidak normal.
  2. Citta/pikiran. Jika pikiran kita selalu tenang, damai maka akan tercetus dalam wajah yang ceria, murah senyum, maka wajah kita akan cerah. Namun jika pikiran kita selalu kacau maka yang tampak terutama wajah kita akan cemberut atau marah, maka wajah kita akan kelihatan tidak cantik atau tampan dan mudah cepat tua.
  3. Utu atau temperatur suhu. Jika kita tinggal di daerah tropis, maka kulit kita umumnya akan hitam/gelap. Tetapi jika kita berada di daerah dingin maka umumnya kulit kita akan berwarna putih atau kuning langsat.
  4. Ahara atau makanan. Jika kita selalu makan makanan yang penuh gizi, maka jasmani kita akan tumbuh dengan baik dan sehat. Tetapi jika kita selalu makan makanan yang kurang bergizi, maka jasmani yang terbentuk juga kurang baik dan kurang sehat. Menurut Abhidhamma, rupa atau jasmani dapat dikupas secara singkat menjadi 28 unsur yang terbagi menjadi dua kelompok:
    • Mahabhûtarupa, yang terdiri dari empat unsur dan merupakan materi dasar yang besar.
    • Upadayarûpa, yang terbagi atas 24 macam, yang berarti materi yang berasal dari Mahabhutarupa.

Nibbana sunting

Kata Nibbana berasal dari kata “Ni” dan “Vana”, Ni berarti tidak, vana berarti menenun atau menginginkan, yang berfungsi sebagai tali untuk menghubungkan rangkaian kehidupan dari makhluk hidup dalam pengembaraannya (samsara). Selama seseorang terjerat keinginan atau kemelakatan, ia akan menumpuk kekuatan kamma yang segar/baru yang harus diwujudkan dalam satu bentuk di dalam lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada putusnya. Bila semua keinginan telah termusnahkan, kekuatan kamma akan berhenti bekerja, dan seseorang dikatakan mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada putusnya. Kata Nibbana juga dari kata ni dan va yang berarti meniup. Dalam hal ini nibbana berarti tertiup padamnya atau musnahnya api nafsu kebencian, dan ketidaktahuan. Secara instrinsik (sabhavato) nibbana adalah kedamaian (santi) dan unik (kevala). Nibbana merupakan suatu kenyataan mutlak (vattudhamma) yang di atas duniawi (lokuttara). Nibbana merupakan Arupadhamma, yaitu dhamma yang bukan rupa, dan disebut pula nama dhamma, disebut pula kala vimuti karena terbebas dari kala tiga (atita, paccupana, dan anagata), dan merupakan asankhatadhamma (keadaan yang tidak bersyarat). Selain itu Nibbana diartikan sebagai suatu keadaan yang terbebas dari tanha. Nibbana yang menjadi tujuan terakhir dari umat Buddha secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Saupadisesa Nibbana:padamnya kilesa secara total, tetapi masih ada pancakkhandha.
  2. Anupadisesa Nibbana:padamnya kilesa secara total dan juga padamnya pancakkhandha.

Referensi sunting

  1. ^ Hoiberg, Dale H., ed. (2010). "Abhidhamma Pitaka". Encyclopedia Britannica. I: A-ak Bayes (15th ed.). Chicago, IL: Encyclopedia Britannica Inc. halaman 30–31.
  2. ^ "Abhidhamma Pitaka." Encyclopædia Britannica. Ultimate Reference Suite. Chicago: Encyclopædia Britannica, 2008.

Catatan sunting

  1. Manfaat Abhidhamma dalam Kahidupan Sehari-hari, Oleh Mettadewi W. SH, SAB.
  2. Pengantar Abhidhamma Pitaka. Editor:J. Kaharudin, Abhidhamma Pandit, dan Dharma K. Vidya.
  3. Ikhtisar Tipitaka. Editor:Bidhiarta, dan Dharma K. Vidya.
  4. Abhidhammatthasangaha, oleh Pandit J. Kaharudin.
  5. Sebuah Telaah Objektif Abhidhamma, oleh Jan Sanjivaputta
  6. Diktat Abhidhamma, oleh Ven Narada Maha Thera, alih bahasa Samanera Aggabalo.